Batasan Bermuamalah Dengan Non Muslim
Ustad, saya mau bertanya sesuatu, yang kemungkinan perlu untuk diketahui banyak orang. yaitu :
1. Ketika kita punya usaha yang melayani orang banyak dari semua
kalangan, misalnya saja percetakan spanduk. Nah, biasanya kan tidak
hanya umat muslim yang punya acara, tetapi kadangkala orang kristen
punya acara, misalnya perjamuan, dan lain lain.
Kalau mereka bikin spanduk di tempat kita itu hukumnya apa? Dan apa yang harus kita lakukan?
2. Saya punya teman, dia bekerja sebagai tukang batu, dia rajin sholat
tetapi dia saat ini sedang ditugaskan dalam proyek membuat patung Yesus
di tengah kota Wamena. Bagaimana pendapat ustad?
Mohon jawabannya. Jazakumullah atas jawabannya
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bekerja atau bermuamalah dengan pihak non muslim itu perlu dibedakan
menjadi dua. Pertama, yang tidak terkait dengan urusan ritual agama.
Kedua, yang terkait dengan urusan ritual agama.
1. Tidak Terkait Urusan Agama
Di dalam hidupnya, Rasulullah SAW banyak sekali bermuamalah dengan non
muslim, dalam arti berdagang, bisnis, atau usaha usaha tertentu. Karena
muamalah itu tidak terkait dengan urusan agama, atau tidak bersifat
membantu ritual keagamaan, maka hal itu dibenarkan.
Misalnya
ketika masih di Mekkah, orang-orang kafir yang memusuhi beliau itu
justru malah banyak menitipkan harta mereka di tangan Rasulullah SAW,
sebagai amanah atau barang titipan. Dan gelar Al-Amin yang disandang
beliau SAW tidak pernah dicabut, walaupun Rasulullah SAW sebagai nabi
selalu dihujat dan diperangi. Oleh karena itulah ketika Rasulullah SAW
akhirnya hijrah ke Madinah, di tangan beliau masih banyak harta titipan
milik orang-orang kafir yang harus dikembalikan terlebih dahulu.
Dalam perjalanan hijrah pun, Rasulullah SAW tetap bermualamah dengan
orang kafir. Beliau dan Abu Bakar menyewa penunjuk jalan profesional,
Abdullah bin Uraiqidzh, yang saat itu bukan muslim, untuk mengantarkan
mereka berdua hingga tiba ke arah Madinah.
Di Madinah, ternyata
Rasulullah SAW bertetangga dengan yahudi. Bahkan ketika kehabisan
makanan, beliau SAW menggadaikan baju besinya kepada si Yahudi
tetangganya, untuk mendapatkan pinjaman.
Kebun-kebun kurma di
Khaibar yang menjadi harta rampasan perang ketika berhasil mengalahkan
pihak yahudi, kemudian dikelola secara bagi hasil dengan petani kurma
yang agamanya yahudi. Sebab mereka adalah petani kurma yang
berpengalaman dan paling mengerti cara bertani.
Kalau kita mau
teruskan, maka masih ada banyak lagi bagaimana contoh muamalah
Rasulullah SAW secara ekonomi dengan pihak kafir, yang tidak terkait
dengan urusan agama. Dan secara umum, tidak ada larangan untuk melakukan
muamalah seperti ini.
2. Terkait Urusan Agama
Adapun
muamalah yang terkait urusan agama, bisa kita bagi tiga. Pertama, bila
muamalah itu terkait kepentingan agama kita. Kedua, muamlah terkait
dengan kepentingan bersama. Ketiga, bila muamalah itu terkait dengan
agama lain.
a. Terkait Dengan Kepentingan Islam
Terkadang umat Islam terdesak kebutuhan tertentu yang tidak bisa
dipenuhi oleh sesama umat Islam sendiri. Dan yang bisa memenuhinya
justru pihak non muslim.
Contoh yang paling mudah adalah urusan
transpotasi haji. Sejak zaman nenek moyang kita, umat Islam di
Indonesia pergi haji ke tanah suci menumpang kapal milik Belanda,
sebelum memiliki kapal laut sendiri. Itu berarti umat Islam bermuamalah
dengan orang kafir, untuk kepentingan agama Islam, bukan untuk
kepentingan agama selain Islam.
Dan di masa sekarang ini,
Garuda Indonesia tidak punya pesawat sendiri untuk melayani jamaah haji,
terpaksa sewa 18 pesawat dari banyak pihak, dimana kebanyakannya justru
perusahan itu milik orang-orang di luar Islam. Lucunya, yang disewa
bukan cuma pesawatnya, tetapi juga sekalian dengan pilot dan awaknya.
Dan meski penerbangkan pesawat yang isinya calon jamaah haji semua,
tetapi pilot dan awak bawaan asli pesawat itu malah orang kafir alias
bukan muslim. Namun Garuda kemudian menambahi awak flight attenden dari
pihak sendiri, khususnya mereka yang muslimah, bahkan berjibab, untuk
menyesuaikan keadaan.
Ini juga contoh bagaimana muamalah dengan
pihak non muslim, yang sangat erat kaitannya dengan kepentingan agama
kita. Dan para ulama sepakat hukumnya tentu dibolehkan, asalkan kita
tidak dirugikan, dan juga jangan sampai posisi kita selamanya bergantung
kepada orang di luar Islam.
b. Terkait Dengan Kepentingan Bersama
Kadang antara muslim dan kafir harus hidup bersama, sehingga juga punya
kepentingan bersama. Dalam hal ini, asalkan kepentingan bersama itu
tidak merugikan agama kita, pada prinsipnya tidak ada larangan.
Contoh yang nyata dalam hal ini adalah perjanjian atau Piagam Madinah
yang ada di masa Rasulullah SAW. Esensi dari piagam itu adalah bahwa
pihak muslim dan pihak yahudi bekerja sama dalam keamanan dalam negeri
di Madinah. Bila pihak muslim diperangi oleh suatu kaum, maka pihak
yahudi Madinah khususnya wajib ikut membela pihak muslim. Sebaliknya,
bila pihak yahudi Madinah diperangi oleh pihak lain, maka umat Islam di
Madinah wajib membela mereka.
Kalau kita perhatikan, salah satu
isi dari perjanjian ini bahwa umat Islam wajib membela pihak yahudi.
Pasal ini menarik untuk diperhatikan, kok bisa ya umat Islam diwajibkan
membela yahudi, apa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip aqidah
kita?
Jawabnya bahwa masalah ini tidak terkait dengan aqidah,
tetapi terkait dengan muamalah dan kepentingan bersama. Ketika seorang
muslim membela tetangganya yang sedang diperangi oleh satu pihak, maka
hal itu justru merupakan kebaikan. Asalkan titik permasalahannya bukan
masalah aqidah atau ritual agama.
c. Terkait Dengan Kepentingan Agama Lain
Bentuk yang ketiga adalah muamalah dengan pihak agama lain, khususnya
untuk kepentingan ritual peribadatan agama mereka. Contoh mudahnya
adalah seorang muslim bekerja dalam proyek pembangunan gereja, entah
jadi tukang kayu, tukang batu, atau pun jadi arsitek yang membuat gambar
rancangan desain gereja.
Jumhur ulama, termasuk di dalamnya
mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah satu
kata, bahwa bekerja di gereja itu jelas-jelas disepakati keharamannya.
Dasar keharamannya adalah cara itu termasuk ke dalam kategori membantu
kemaksiatan. Karena dalam pandangan aqidah kita, ritual ibadah yang
mereka lakukan itu setara dengan kemaksiatan, walau pun kita tidak boleh
melarangnya.
Allah SWT berfirman :
Tolong menolong
lah kalian dalam kebaikan dan taqwa tetapi jangan tolong menolong dalam
dosa dan permusuhan. (QS. Al-Maidah : 2)
Penerapan Keharaman Dalam Realita
Dalam realitas kehidupan nyata, bagaimana penerapan ketentuan hukum di atas, khususnya di masa kita sekarang ini?
Jawabannya tergantung posisi kita. Kalau posisi kita sebagai pengusaha
atau pemilik perusahaan, maka sejak awal hukumnya haram untuk menerima
order untuk membangun gereja, dan semua hal yang terkait dengan
kepentingan langsung ritual agama mereka.
Maka hukumnya haram
menerima order untuk mencetak spanduk natalan, mencetak Bible atau
Injil, menjahit baju para pendeta atau biarawati, merias acara natalan,
menjadi MC atau menjadi penyanyi di gereja atau momen ritual agama. Juga
termasuk diharamkan menyewakan sound system buat ritual agama, bahkan
termasuk pesanan katering untuk upacara ritual keagamaan.
Semua
itu diharamkan, karena posisi kita adalah orang yang menentukan
pilihan, dan kita punya banyak alternatif pilihan lain selain harus
mengerjakan proyek gereja.
Tapi nanti hukumnya akan beda lagi
bila posisi kita hanya sebagai karyawan, yang berada pada posisi tidak
bisa menentukan jenis pekerjaan sendiri, kecuali dengan cara ditempatkan
oleh perusahaan. Dalam posisi ini, kita tidak terlalu bisa untuk
menentukan plihan. Maka tekanan nilai keharamannya tentu berbeda dengan
posisi sebagai pemilik perusahaan, meski tetap sama-sama haram hukumnya.
Ceramah di Depan Tokoh Agama Lain
Sebelum mengakhiri jawaban ini, Saya ingin berbagi sedikit cerita, yang
masih berbau tema di atas, tetapi hukumnya jauh berbeda.
Begini, saya pernah diminta berceramah di depan para tokoh agama lain,
yaitu di depan pendeta Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Mereka
duduk di barisan terdepan di antara para hadirin, lengkap dengan kostum
khas agama mereka. Sebenarnya kejadiannya tidak terduga, karena undangan
ceramah itu terkait dengan acara buka puasa bersama. Dan biasanya,
sambil menunggu waktu Maghrib, diisi dengan ceramah agama sebagaimana
lazimnya.
Nah, yang tidak lazim, rupanya acara itu juga
digabung dengan momen ulang tahun perusahaan, dimana banyak para direksi
dan bos yang agamanya bukan Islam, turut hadir juga. Bahkan mereka
malah hadir lebih awal dari pada teman-teman karyawan yang muslim.
Lucunya, para bos yang non muslim ini juga mengundang tokoh agama lain,
dan biar adil, yang diundang adalah para tokoh dari semua agama resmi.
Maksudnya biar masing-masing tokoh agama itu ikut mendoakan perusahaan.
Namun acara intinya tetap ceramah buka puasa, sesuai yang tertulis di
backdrop, yang mana saya adalah penceramahnya. Dan tempatnya bukan
gerja, tetapi kantor swasta. Awalnya saya agak ragu, kok rasanya aneh
sekali, ceramah di depan para tokoh agama lain.
Tetapi perasaan
aneh itu kemudian hilang, ketika saya teringat bagaimana dahulu
Rasulullah SAW dan para shahabat, justru beliau SAW kalau berdakwah
malah kepada orang-orang kafir. Dakwah kepada Abu Jahal, Abu Lahab, Abu
Sufyan dan para pembesar agama kafir.
Maka saya pun ceramah di
depan romo, pendeta dan biksu dan lainnya. Intinya, saya menjabarkan
detail prinsip syariat Islam itu, baik tentang puasa maupun tentang
bagaimana syariat mengatur urusan tolong menolong dengan pihak bukan
muslim, seperti yang saya tulis di atas.
Ternyata respon mereka
luar biasa. Mereka bilang bahwa selama ini mereka jarang-jarang
menerima informasi tentang syariat Islam yang lengkap dan mendalam.
Biasanya, ceramah agama Islam itu isinya berupa ejekan, hinaan, makian
dan pelecehan terhadap agama lain. Ternyata isi ceramahnya malah
menjelaskan bagaimana aturan Islam yang ternyata sangat santun dan adil,
walau kepada agama lain sekali pun. Apalagi terkait dengan urusan
muamalah dan kerja sama. Kebanyakan penceramah langsung sikat saja,
pokoknya haram, titik.
Lalu saya jawab, jangankan Anda, kita
ini umat Islam sendiri pun jarang-jarang membahas syariat Islam secara
mendalam, adil dan merujuk kepada teknis detai di masa Rasulullah SAW,
khususnya yang mengatur urusan kerja sama dan bermualamat.
Wallahu 'alm bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatulallahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MARumah Fiqih Indonesia
Arsip Konsultasi Syariah Rumah Fiqih Indonesia : http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1354172106&title=batasan-bermuamalah-dengan-non-muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar