dakwatuna.com – Dalam sebuah pengajian di Masjid
Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Los Angeles, seorang bertanya mengenai
beberapa Negara yang tadinya lemah, tetapi kerana kerja keras mereka
kini menjadi bangkit. Seperti Korea dan Jepang. Padahal mereka dalam
pengelolaan sitem bernegara tidak pernah mengatasnamakan syariah.
Demikian juga negara-negara maju lainnya di Eropa maupun di Amerika.
Sementara umat Islam hanya berteriak syariah, tetapi mereka belum
bangkit-bangkit.
Di manakah yang salah?
Memang pertanyaan
seperti ini kerap kali muncul. Kalau tidak diimbangi dengan keimanan
yang kuat dan pemahaman yang luas, bisa saja seseorang salah paham, lalu
tiba-tiba ia keluar dari Islam. Sebab pada kenyataannya banyak negara
umat Islam yang tidak berdaya dan tidak berwibawa. Bahkan mereka tidak
sanggup menyelesaikan persoalan mereka sendiri secara internal. Lalu
bagaimana cara menjawab pertanyaan seperti ini?
Saya jelaskan
bahwa di alam ini ada dua sistem: Pertama, sistem yang didisain secara
khusus untuk mengatur jalannya segala wujud, sehingga semuanya berjalan
dengan rapi dan terartur. Ini disebut dengan sunnatullah, dan para ilmuan sering menyebutnya dengan istilah hukum alam.
Kedua, sistem yang diturunkan melalui wahyu, untuk mengatur dan
menuntun bagaimana manusia hidup di muka bumi sehingga tidak
bertentangan dengan tujuan yang telah Allah swt. tentukan, ini disebut
dengan syari’atullah. Adapun mengenai sunnatullah
siapa saja yang mematuhinya ia akan mendapatkan manfaat secara duniawi.
Tidak ada bedanya antara orang yang beriman maupun yang tidak. Sebab sunnatullah
lebih berupa hukum kausalitas (sebab mesabab). Ia bersifat matematis.
Siapa yang bersungguh-sungguh dapat manfaatanya. Siapa yang makan,
kenyang sekalipun ia tidak beriman, dan yang tidak makan, lapar,
sekalipun ia beriman. Dalam hal ini pernah dicontohkan dengan dua
tempat. Satunya masjid dan satunya tempat maksiat. Secara sunnatullah tempat maksiat lebih patuh, yaitu di atas bangunan tersebut dipasang penangkal petir. Sementara masjid mengabaikan sunnatullah,
dengan anggapan bahwa itu tempat ibadah. Maka tidak perlu diberi
penangkal petir. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa tiba-tiba petir
menyambar, masjid itu hancur dan tempat maksiat itu tidak.
Di sini menarik untuk dicatat bahwa hidup di dunia tidak cukup hanya dengan patuh kepada syariatullah tetapi juga harus patuh kepada sunnatullah. Islam bukan hanya ikut syariatullah tetapi juga ikut sunnatullah.
Rasulullah
saw. tidak hanya mengajarkan shalat dan puasa tetapi juga mengajarkan
kejujuran dan keadilan, kerapian, kerja keras, kedisiplinan, kesungguhan
menegakkan hukum (sisi yang kedua ini termasuk sunnatullah).
Islam tidak hanya melarang tindakan mengabaikan shalat, puasa dan ritual
lainnya, tetapi juga melarang sogok menyogok, korupsi, menipu,
kedzaliman dan sebagainya. Dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat
Islam masih banyak yang tidak mengambil Islam secara lengkap. Islam
hanya diambil sisi syariahnya (baca: ritualnya) saja. Sementara sunnatullah
di lapangan sosial diabaikan. Kebiasaan korupsi, menipu, sogok
menyogok, tidak jujur dianggap pemandangan yang biasa. Sementara
negara-negara maju, sangat takut dari kebiasaan seperti ini. Setiap
tindakan menipu, sogok-menyogok, korupsi dan lain sebagainya, sekecil
apapun mereka lakukan, maka akan ditindak secara hukum dengan tegas.
Karenanya mereka maju secara keduniaan.
Sementara di sisi lain
kita menyaksikan orang-orang Islam tidak berdaya. Mereka mati dipojok
masjid, dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemanusiaan secara
luas. Padahal dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa umat ini pernah
memimpin seperempat dunia, dengan kegemilangan sejarah tak terhingga
bagi kemanusiaan. Puncaknya di zaman Umar Bin Khatthab lalu di zaman
Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman itu tidak ada seorangpun yang didzalimi.
Umar bin Khaththab pernah mengumumkan bahwa anak bayi dari sejak lahir
sampai umur lima tahun, ditanggung oleh negara. Dan ternyata aturan ini
kini dipraktikkan di Amerika.
Seluruh pajak pada zaman itu
benar-benar disalurkan secara benar. Tidak ada yang diselewengkan.
Ditambah lagi dengan kewajiban zakat yang secara khusus disiapkan untuk
membantu kemanusiaan. Kareananya pada zaman ke dua Umar tersebut rakyat
tidak hanya mencapai puncak kesejahteraan tetapi juga mendapatkan
keadilan hukum secara proporsional.
Di negara-negara maju ternyata
telah mempraktikkan ini. Mereka hidup di atas pajak. Dan secara
tarnsparan pajak-pajak tersebut dikelola dengan benar. Baik untuk
pengembangan infra-struktur maupun untuk kebutuhan sosial secara umum.
Semakin banyak tuntutan kebutuhan infra-struktur dan sosial semakin
mereka tingkatkan pajaknya. Dalam perjalanan yang saya alami ke
kota-kota besar di Kanada dan Amerika, saya banyak mendegar cerita bahwa
belum pernah di sana ada seorang pasien ditolak masuk rumah sakit
karena tidak punya biaya. Para homeless dan jobless (orang-orang yang
tidak punya rumah dan tidak punya pekerjaan) mendapatkan tunjangan
khusus dari negara berupa tempat tinggal dan kebutuhan makanan.
Orang-orang jompo dirawat dan ditanggung oleh negara. Bagi mereka
menyelamatkan kemanusiaan adalah hal yang harus diprioritaskan.
Dalam Islam, semua variable dan contoh-contoh tersebut adalah sunnatullah dan syariatullah
sekaligus. Bahwa Islam bukan hanya sibuk mengurus perbedaan pendapat
dalam masalah fikih seperti qunut, jumlah rakaat tarawih dan lain
sebagainya, melainkan menyelamatkan kemanusiaa adalah juga Islam. Bahwa
Islam bukan hanya shalat, dzikir di masjid-masjid, melainkan berkata
jujur, menjauhi sogok menyogok, disiplin, bekerja keras, transparansi,
tidak koupsi dan lain sebagianya adalah juga Islam.
Kini kita
sudah saatnya umat Islam kembali ke fitrhanya semula, seperti yang
dicontahkan Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya, serta penurusnya
dari para tabi’in yang salih. Fitrah kepatuhan secara komprhensif, bukan
parsial. Fitrah kesungguhan menjalankan syariatullah sekaligus sunnatullah.
Sebab hanya dengan langkah ini umat Islam akan kembali berdaya dan
memberikan kontribusi terbaik bagi kemanusiaan di seluruh alam (baca: rahmatan lil aalamiin). Wallahu a’lam bishshawab.
Los Angeles, Mei 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar