Berkata Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhuma:
إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن
dakwatuna.com - “Sesungguhnya
Allah Ta’ala memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan
sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh Al Quran.” (Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 2/12. Dar Ihya At Turats)
Mukadimah
Kaum
sekuler –baik Barat maupun Timur- tidak akan ada kata henti menyerukan
manusia; jauhkan agama dari politik, jauhkan Islam dari Negara. Seruan
ini, bukan barang baru, dalam sejarah keagamaan dia memiliki akar dalam
‘kesucian’ teks agama Nasrani. Dalam Bible disebutkan: “Berikan Hak
Kaisar kepada Kaisar dan berikan hak Tuhan kepada Tuhan.” Inilah
pemisahan ekstrim antara keterkaitan kekuasaan dan agama, tetapi bukan
dari Islam, bukan dari Allah dan RasulNya, tidak dikenal oleh para
sahabat, dan asing dalam seluruh literatur mu’tabarah para ulama dan
sejarawan Islam.
Tahun terus berjalan, abad berganti abad, upaya
mereka untuk memadamkan agama Allah Ta’ala dengan mulut-mulut mereka
terus bergulir, dengan wajah dan pakaian baru tetapi isinya sama. Tetapi
selalu ada pada tubuh umat ini segolongan manusia yang membendung
mereka, melucuti kebohongan dan meruntuhkan semua bangunan argumen yang
mereka dirikan. Hingga agama ini tetap menduduki haknya sebagai penguasa
dan pengelola dunia ini.
Allah Ta’ala berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka
ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi
Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir
membencinya.” (QS. Ash Shaf (61): 8)
Kekuasaan Adalah Warisan Allah Kepada Orang Mukmin
Tidak
bisa dibenarkan klaim sebagian manusia -sayangnya mereka dikenal
sebagai ‘tokoh Islam’ yang berada dalam komunitas Jam’iyyah Islamiyah-
yang mengatakan Islam tidak pernah mengurus negara dan politik. Tidak
ada daulah dalam Islam. Ini jelas syubhat sekularisme yang mereka
dapatkan melalui pendidikan dan interaksi akademis yang bebas nilai.
Banyak sekali ayat-ayat yang menjadi dalil wajibnya berdiri Daulah Islamiyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,
dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka
tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka
Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur (24): 55)
FirmanNya yang lain:
الَّذِينَ
إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا
الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“(yaitu) orang-orang yang jika
Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj (22): 41)
FirmanNya yang lain:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah (2): 178)
FirmanNya yang lain:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An Nisa (4): 58-59)
Ayat-ayat ini menuntut
didirikan Daulah Islamiyah, bagaimana bisa amanat dan pesan agung yang
ada pada ayat-ayat ini bisa berjalan secara utuh dan sempurna tanpa
adanya negara yang menerapkan dan menjaganya?
Perhatikan ayat 58,
objek pembicaraan pada ayat ini adalah pemerintah dan penguasa, di mana
mereka diperintahkan untuk memelihara amanah yang dibebankan kepadanya
dan menetapkan hukum secara adil. Lalu pada ayat 59, objek
pembicaraannya adalah rakyat yang beriman. Mereka harus taat kepada Ulil
Amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat Ulil Amri tersebut
telah mentaati Allah dan RasulNya. Mereka pun menjadikan ketaatan kepada
Ulil Amri, adalah tahapan lanjutan dari ketaatan kepada Allah dan
RasulNya. Selain itu, mereka juga diharuskan meredam perselisihan dengan
cara mengembalikannya kepada konstitusi syar’i, yakni kepada Allah dan
RasulNya yakni Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Menjalankan semua ini, agar berjalan sempurna dan utuh, tentu
melazimkan adanya pada sebuah Negara, tidak hanya sekadar kehidupan
individu.
Oleh karena itu, surat An Nisa ayat 58-59 ini telah
dijadikan landasan utama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menulis
kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah.
Dalam
Al Quran masih banyak ayat-ayat yang membahas tema-tema sosial,
politik, ekonomi, perjuangan, dan militer. Ayat-ayat ini telah menjadi
perhatian khusus para imam kaum muslimin. Mereka menamakannya dengan
ayatul ahkam (ayat-ayat hukum). Tak kurang dari Imam Asy Syafi’i, Imam
Al Jashash, dan Imam Ibnul ‘Arabi membuat kitab tafsir khusus membahas
ayat-ayat hukum, dengan judul yang sama: Ahkamul Quran. Ulama
kontemporer juga ada yang melakukannya yakni Syaikh Prof. Dr. Ali Ash
Shabuni menyusun kitab Rawa’i Al Bayan fi Tafsiri Ayatil Ahkam minal
Quran.
Pengabaran As Sunnah
Banyak sekali hadits
shahih -puluhan bahkan ratusan- yang membahas tentang khalifah,
kekuasaan kepemimpinan, bai’at, pengadilan, dan karakteristik pemimpin.
Juga dibahas tentang cara menasihati mereka, bermusyawarah dengan
mereka, serta menyikapi mereka baik yang adil maupun yang zhalim.
Pemimpin seperti apa yang layak ditaati dan yang bagaimana yang tidak
boleh ditaati. Juga, hak dan kewajiban mereka,
Para imam ahli
hadits pun telah membuat pembahasan dalam kitab mereka bab khusus
tentang kepemimpinan dan hak-hak yang terkait dengan wewenang pemimpin.
Imam Bukhari dalam Jami’ush Shahih-nya membuat Kitab Al Hudud, Kitab Ad
Diyat, juga Kitab Al Ahkam yang membuat bab-bab tentang Al Imamah dan Al
Imarah (kepemimpinan). Begitu pula Imam Muslim, dalam kitab Jami’ush
Shahih-nya membuat Kitab Al Imarah, juga Kitab Al Hudud, dan Al Qasamah
wal Muharibin wal Qishash wal Diyat. Hal sama dilakukan juga para
pengarang kitab Sunan.
Fakta ilmiyah ini merupakan jawaban atas
tudingan sebagian pihak yang mengatakan bahwa Khilafah Islamiyah tidak
memiliki akar yuridis dalam Islam. Bagaimana bisa mereka mengatakan
demikian padahal As Sunnah adalah salah satu dasar yuridis Islam, dan
telah begitu banyak As Sunnah membicarakan kepemimpinan, kekuasaan
khilafah, bai’at, dan pembahasan lain yang terkait.
Contoh hadits berikut:
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا خرج ثلاثةٌ في سفرٍ فليؤَمِّروا أحدهم
“Jika tiga orang keluar bepergian maka hendaknya salah seorang mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Daud No. 2608. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2608)
Jika
urusan safar saja Islam ikut mengambil bagian untuk menetapkan adanya
pemimpin, maka tidak syak lagi bagi urusan yang lebih urgen dan besar
dari itu seperti kenegaraan. Maka, adalah hal yang mustahil Islam luput
dari hal-hal besar seperti politik dan Negara.
Hadits lain:
الامام ظل الله في الارض
“Pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Ath Thabarani, Al Haitsami mengatakan para perawi Ahmad adalah tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/215)
Hadits
ini menunjukkan posisi penting kepemimpinan dalam pandangan Islam.
Maka, bagaimana mungkin mereka mengatakan Islam sama sekali tidak pernah
bicara kekuasaan?
Fakta Warisan Pemikiran Islam
Tema
tentang kepemimpinan, kekuasaan, dan apa-apa yang menjadi tautannya
seperti hudud, bai’at, diyat, pengadilan, dan lainnya. Telah dibicarakan
para ulama Islam sejak masa-masa awal hingga zaman modern. Baik
pembahasan yang include dengan kajian fiqih lainnya, atau pembahasan khusus pada kitab khusus pula.
Tidak
pernah sepi di kolong langit ini para ulama yang mengkaji permasalahan
kepemimpinan, kenegaraan, pidana, dan politik Islam. Imam Abul Hasan Al
Mawardi menyusun kitab Al Ahkam As Sulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan).
Begitu pula Imam Abu Ya’ala dengan judul yang sama. Imam Al Haramain
menyusun kitab Al Ghiyats. Imam Ibnu Taimiyah menyusun kitab As Siyasah
Asy Syar’iyyah. Sedangkan muridnya, Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Ath
Thuruq Al Hukmiyah (metode-metode pemerintahan). Imam As Suyuthi
menyusun kitab Al Asathin fi ‘Adamil Muji’ As Salathin. Ibnu Syidad
menyusun kitab An Nawadir As Sulthaniyah, lain sebagainya.
Fakta
ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dengan Negara dan
politik. Adanya karya-karya ini serta perhatian para sarjana muslim
sejak masa klasik membuktikan bahwa memang keterkaitan antara Islam dan
Negara adalah memang wujud (ada). Sebab, adalah hal mustahil para imam
ini membicarakan sesuatu yang sia-sia, yang tidak pernah terjadi dalam
Islam dan dunianya. Dia dibicarakan karena dia ada. Hakikat ini sangat
jelas bagi orang-orang yang berakal.
Fakta Sejarah Kepemimpinan Islam
Sejak
masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dilanjutkan para
khalifah yang empat, lalu dilanjutkan oleh para khilafah dinasti, hingga
berakhirnya khilafah Turki Utsmani tahun 1924M, dan pada masa itu
selalu ada ulama Islam yang memberikan sumbangan pemikiran untuk
kemakmuran Negara, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah bahwa
agama ini sangat perhatian dengan masalah kepemimpinan, kekuasaan,
wilayahnya, serta negara. Ini juga menunjukkan, tidak mungkin selama
belasan abad lamanya umat Islam dan para ulamanya melakukan kesalahan
langkah karena ‘mencampurkan’ agama dan Negara, apalagi disebut tidak
memiliki akar sejarah dan teologis.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن الله لا يجمع أمتي أو قال أمة محمد صلى الله عليه وسلم على ضلالة ويد الله مع الجماعة
“Sesungguhnya
Allah tidaklah mengumpulkan umatku – atau Beliau bersabda: Umat
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- di atas kesesatan, dan tangan
Allah bersama jamaah.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2167)
Seringkali
kaum sekuler dan liberal menjadikan sejarah hitam kekuasaan Islam
sebagai bukti untuk memperkuat hawa nafsu mereka. Mereka membeberkan
adanya konflik, bahkan pertumpahan darah pada sebagian masa-masa
khilafah Islamiyah. Pandangan mereka sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Peristiwa-peristiwa yang dilahirkan dari kejahatan manusia, serta
kepentingan duniawi pelakunya, sama sekali bukanlah noda serta bukan
pula alasan untuk menafikan nilai dan bangunan sistem yang ada. Perilaku
konflik mereka hendaknya disandarkan sebagai sikap dan perilaku pribadi
manusianya, bukan karena nilai yang dianut dan yang berlaku saat itu.
Lalu, kenapa mereka tidak berkaca pada fakta sejarah kegemilangan
Khalifah yang empat dan Umar bin Abdul Aziz? Apa yang membuat mereka
menutup mata terhadap fragmen yang lain? Jika bukan kebodohan dan mata
kebencian terhadap Islam, nama apalagi yang cocok buat sikap mereka
ini?!
Selain itu, kaum sekuler juga membangun argumentasi mereka
dengan dasar pobhia negara teokrasi a la Barat. Mereka menyangka jika
Islam dijadikan dasar pemerintahan kekuasaan dan hukum-hukumnya, akan
mengulangi kekuasaan kaum gerejani di Eropa yang absolute. Kekuasaan
yang selalu mengatasnamakan semua perbuatan dan keputusan pemimpin
berasal dari Tuhan. Sehingga, tidak ada celah untuk bertanya ‘mengapa?’,
lebih-lebih mengatakan ‘tidak!’. Pemikiran dan ketakutan mereka ini
sangat rapuh, bodoh, dan tidak sesuai fakta sejarah kepemimpinan
rahmatan lil ‘Alamin-nya Islam. Dan, Islam sendiri menolak sistem
Teokrasi, yang memposisikan suara pemimpin adalah suara Tuhan.
Tidak
cukup dengan itu, mereka juga sok membela agama dengan mengatakan agama
adalah sakral dan suci yang tidak selayaknya dicampuradukkan ke dunia
politik dan kekuasaan yang penuh intrik dan hawa nafsu. Ini juga
pemikiran yang dibangun bukan berdasarkan nilai-nilai Islam yang utuh
dan menyeluruh dan menafikan sikap Islam terhadap politik, melainkan
berdasarkan asumsi dan kasus manusia yang mereka lihat saja.
Jahatnya
lagi adalah mereka tidak pernah mempermasalahkan lahirnya Negara
sosialis, komunis, kapitalis, serta Negara Kristen vatikan, Hindu India,
dan Yahudi Israel. Semua ini bebas hidup dan menghirup udara segar di
alam demokrasi versi mereka. Tetapi, tangan mereka terkepal, bom mereka
siap diluncurkan, serta syubuhat pemikiran pun dipublikasikan, ketika
berhadapan dengan ide dan gagasan Negara Islam. Padahal baru sekadar
gagasan!
Fakta sejarah bahwa Islam senantiasa ada dalam panggung
kekuasaan juga telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, bahwa umat ini akan mengalami lima tahap kepemimpinan. Pertama.
Kepemimpinan di atas manhaj kenabian. Kedua, kepemimpinan khalifah di
atas manhaj kenabian. Ketiga, kepemimpinan raja-raja menggigit. Keempat,
kepemimpinan raja-raja diktator. Kelima, kepemimpinan khilafah di atas
manhaj kenabian lagi. Lalu Nabi terdiam. (HR. Ahmad No. 17680. Imam Al
Haitsami mengatakan: perawinya tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid 5/188-189)
Sebagai mukmin kita akan meyakini sign
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Dan, sebagai seorang
yang berilmu kita telah menunjukkan fakta-fakta sejarah, serta
nilai-nilai yuridis teologis bahwa memang Islam dan Kekuasaan adalah
senyawa tak terpisah sejak awal lahirnya hingga berakhirnya dunia.
— Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar