Malu Baik dan Malu Buruk
Malu
terbagi menjadi dua, yakni malu yang terpuji dan malu yang tercela.
Malu yang terpuji adalah malu untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Malu
ini bisa digolongkan malu kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah
dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu wahai Rasulullah”, jawab para
sahabat. Nabi bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ
الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ
وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ
فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Bukan
demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya
adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga
perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat
kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan
akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan
hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan
sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, hadits hasan)
Dalam
hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah
adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat
kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini
dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat, serta larut dalam gemerlap
kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
Rasa malu terpuji
selanjutnya adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang
mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia
merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia
miliki.
Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari
melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu
kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam
setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang atau pun
saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.
Rasa malu kepada
Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah.
Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan terhadap Allah dan
keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan
hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya
mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Adapun malu
yang tercela adalah malu di hadapan manusia ketika menjalankan ketaatan
kepada Allah Ta’ala. Misalnya, malu untuk menyampaikan kebenaran dan
menuntut ilmu, atau pun dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kepada kemungkaran, malu memakai jilbab yang syar’i, dan malu mencari
nafkah untuk keluarga karena dirinya bukan seorang bos.
Qadhi
‘Iyadh rahimahullah dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan
menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu
ketidakmampuan dan kelemahan. Sementara perbuatan ini masih disebut
malu, karena menyerupai malu yang disyari’atkan.” Dengan demikian, malu
yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla
sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya
tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak
orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah
tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan
ketidak-berdayaan. [Lihat Qawa’id wa Fawaid (hal. 182)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar