Al-Quran Bicara Tentang Emansipasi
Sebagaimana
pelajatan yang telah lewat, tidak ada sesuatu pun permasalahan yang
dihadapi manusia kecuali Al-Quran telah membahasnya. Allah berfirman
(yang artinya), “Kami tidak meluputkan sesuatu pun dalam Kitab
(Al-Quran).” [QS Al-An’am]
Termasuk permasalahan emansipasi yang
dewasa ini ramai dibicarakan dan dibincangkan banyak orang. Sebagian
orang bersikeras melegalkannya dan sebagian yang lain menolaknya dengan
berbagai alasan dan argumen.
Pertanyaannya adalah: bagaimana tanggapan Al-Quran terhadap permasalahan ini?
Ketahuilah saudaraku seiman, Allah Rabb kita telah berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا
اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kalian berangan-angan
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak
dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah
sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” [QS An-Nisa: 32]
Para ulama pakar tafsir menyebutkan beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, di antaranya ialah:
• Mujahid berkata, “Ummu Salamah mengadu, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kaum laki-laki berperang sementara kami tidak berperang,
sehingga mereka mengalami kelemahan. Kami tidak memperoleh warisan.
Seandainya kami laki-laki, tentu kami akan berperang dan kami mengambil
warisan seperti yang mereka ambil.” Maka turunlah ayat ini.
•
Ada yang berpendapat, ketika Allah menetapkan bagian laki-laki seperti
bagian dua wanita dalam warisan, kaum wanita berkomentar, “Kami lebih
membutuhkan tambahan daripada kaum laki-laki. Sebab, kami ‘kan
orang-orang lemah dedangkan mereka orang-orang kuat dan lebih mampu
mencari ma’isyah (baca: mata pencahariaan untuk melangsungkan kehdupan)
daripada kami.” Maka turunlah ayat ini.
• Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Ibunda Ummu Salamah,
istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena ucapannya kepada Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Sekiranya Allah menetapkan kami
sebagaimana yang ditetapkan-Nya kepada kaum pria supaya kami diberi
pahala sebagaimana mereka diberi pahala.” Maka Allah pun melarang hal
semacam itu dan Dia berfirman, “Dan janganlah kalian berangan-angan
terhadap apa yang Allah karuniakan kepada sebagian kalian –yaitu kaum
pria- lebih banyak dari sebagian –yaitu kaum wanita- yang lain, berupa
shalat berjamaah (di Masjid), jumat, jihad, amar makruf, dan nahi
munkar.
Dari beberapa riwayat ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa emansipasi memang sudah tergambar di kepala wanita Salaf. Hanya
saja motivasi mereka adalah pahala, bukan perkara dunia yang hina ini.
Sebab, kaum laki-laki disyariatkan berjihad melawan musuh di medan
perang yang tentunya pahalanya sangatlah besar terlebih jika gugur
sebagai syahid. Kaum laki-laki juga disyariatkan menunaikan shalat
berjama’ah yang pahala tidak perlu dipertanyakan lagi karena sangat
besar, sesuatu yang tidak disyariatkan kepada kaum hawa.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Si’di –rahimahullah- menjelaskan:
ينهى تعالى المؤمنين عن أن يتمنى بعضهم ما فضل الله به غيره من الأمور
الممكنة وغير الممكنة. فلا تتمنى النساء خصائص الرجال التي بها فضلهم على
النساء
“Allah Ta’ala melarang kaum mukminin dari berangan-angan
terhadap apa yang Allah karuniakan kepada orang lain berupa
perkara-perkara yang memungkinkan maupun yang tidak memungkinkan. Maka
kaum wanita tidak diperkenankan berangan-angan memperoleh keistimewaan
kaum pria yang dengannya ia mengungguli kaum wanita.”
Syaikh
Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Makki mengatakan, “Kemudian Allah
menjelaskan pahala laki-laki dan wanita adalah dengan usaha mereka
(masing-masing). Dia berfirman (yang artinya), “{Bagi laki-laki ada
bagian},” yaitu pahala, “{Atas apa yang mereka usahakan},” yaitu
kebaikan seperti jihad dan menafkahi istri. “{Dan bagi wanita ada
bagian),” yaitu pahala (atas apa yang mereka lakukan},” berupa kebaikan
di rumah mereka, seperti menjaga kemaluan mereka, mentaati Allah dan
suami mereka, dan penunaian mereka terhadap kebaikan rumah tangga berupa
memasak, membuat roti, menjaga pakaian, kemaslahatan-kemaslahat hidup,
serta seperti thalq dan menyusui.”
Lalu mungkin ada yang bertanya, “Lalu bagaimana solusi permasalahan ini?”
Jawab, kelanjutan ayat ini, yaitu, “Dan mintalah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.”
Syaikh Muhammad Al-Khathib Asy-Syarbini memaparkan, “Janganlah kalian
berangan-angan terhadap apa yang berada pada orang lain. Tapi mintalah
kepada Allah atas apa yang kalian perlukan, tentu Allah akan mengabulkan
untuk kalian dari perbendaharaan-perbendaharaan-Nya yang tidak mungkin
habis.
Maka larangan Allah dari berangan-angan , karena di sana
terdapat faktor untuk berlaku hasad dan iri. Yaitu seseorang
menginginkan nikmat yang ada pada orang lain hilang; baik keinginannya
itu untuk dirinya atau orang lain. Adapun ghibthah adalah seseorang
berangan-angan ia memperoleh seperti yang ada pada orang lain (tanpa
menginginkan nikmat yang ada pada orang lain hilang), maka ini boleh.
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tidak boleh hasad
–yaitu ghibthah- kecuali pada dua hal...” dsb. (HR Al-Bukhari)”
Perhatikan dengan seksama ayat ini! Hanya sekedar berangan-angan saja
tidak boleh, apa lagi sampai berusaha untuk mewujudkan angan-angan itu,
tentu sangat tidak boleh lagi.
Maka pada dasarnya emansipasi
yang digembor-gemborkan oleh sementara oknum tertentu yang katanya
membela kebebasan kaum hawa, adalah dakwaan yang sangat keliru dan jelas
salah. Justru sealiknya, mereka hanya menginginkan agar wanita
menganggung beban yang seharusnya ditanggung kaum adam malah dialihkan
kepada kaum wanita yang sejatinya lemah.
Maka dapat kita
simpulkan bahwa emansipasi yang diteriak-teriakkan oleh kalangan
tertentu sebenarnya adalah penindasan dan pengurangan terhadap hak
wanita!!!
Bagaimana tidak? Maksud emansipasi adalah
menelanjangi wanita agar bisa dinikmati kaum laki-laki berhidung belang,
memaksa mereka bersusah payah mencari kehidupan sendiri, dan akibatnya
berimbas juga bagi kehidupan sang buah hati menjadi anak gelandangan
yang tak terurus orangtuanya karena masing-masing sibuk dengan
pekerjaannya.
Islam hanya menginginkan wanita cukup bekerja di
rumah dan kaum laki-laki saja yang keluar untuk mencari nafkah keluarga.
Itu saja. Dan hal semacam ini tidak berarti mengekang kebasan kaum
wanita, justrus sebaliknya. Allahua’lam. []
Refrensi:
As-Siraj Al-Munir fil I’anah ‘ala Ma’rifati Ba’dhi Kalami Rabbina
Al-Hakim Al-Khabir, karya Muhammad Al-Khathib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i
Murah Labid li Kasyf Ma’na Quran Majid, karya Muhammad Nawawi Banten
Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan, karya ‘Abdurrahman bin Nashir As-Si’di
Dan lainnya
Via Renungan Al-Qur'an
Tidak ada komentar:
Posting Komentar