Rubrik: Tazkiyatun Nufus |
Oleh: Asfuri Bahri, Lc - 01/04/07 | 13:48 | 14 Rabbi al-Awwal 1428 H
Seorang
pasien penderita penyakit kanker terbaring di atas tempat tidur di
sebuah rumah sakit yang entah rumah sakit ke berapa yang pernah
disinggahinya. Dan kali ini pun hasil yang didapat tidak jauh berbeda
dengan perawatan sebelumnya. Bahkan dokter yang menanganinya sempat
menghampirinya. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada si
pasien, bahwa seluruh upaya medis telah ditempuh. Karena kondisi
penyakit yang sangat kritis, agaknya harapan untuk sembuh sangat tipis.
Bisa
dibayangkan bagaimana reaksi pasien tersebut. Sedih, gelisah, depresi,
tidak ada lagi gairah dan upaya. Berbeda halnya jika si dokter yang
merawatnya itu mengatakan hal lain, kondisinya memang sangat parah,
namun, menurutnya, masih ada harapan untuk sembuh. Tentu si pasien
sangat bergembira mendengarnya. Kata-kata dokter itu akan mempengaruhi
semangatnya untuk sembuh.
Kata-kata mempunyai kekuatan yang luar
biasa. Bahkan terkadang ia lebih ampuh daripada senjata. Dalam hal ini
pepatah lama masih relevan, bahwa lidah lebih tajam daripada pedang.
Betapa sering sebuah perang berkobar disebabkan oleh kata. Demikian pula
sebaliknya, perang dapat dihentikan oleh sebuah diplomasi atau secarik
kertas perjanjian damai. Seorang penulis wanita Jerman, Annemarie
Schimmel, berbicara tentang kekuatan kata. “Kata yang baik laksana pohon
yang baik. Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian
besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan
kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada
yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata.”
Karena
kata-kata seseorang bisa bergairah, bersemangat, terhibur dari duka,
seorang pasien akan mempunyai harapan sembuh oleh kata-kata dokter. Yang
terkadang kondisi sesungguhnya berlawanan dengan kata-kata itu, sekadar
untuk menerbitkan semangat. Juga karena kata-kata, hati yang tadinya
cerah berbunga-bunga menjadi redup sedih. Tadinya optimis menjadi
pesimis. Bersemangat menjadi patah arang.
Kata-kata sebagai alat
yang ampuh untuk berbagai kepentingan orang. Melobi, mempengaruhi,
merayu, menghina, melecehkan, membalaskan sakit hati. Dan kata orang, ia
adalah senjata bermata dua. Jika kata-kata itu keluar dari orang baik
dan suka melakukan perbaikan, maka dampak yang ditimbulkannya akan
positif. Namun jika ia diungkapkan oleh orang jahat dan mencintai
tersebarnya kejahatan di muka bumi ini, dampak yang ditimbulkannya tentu
kejahatan itu sendiri sebagai produk hatinya yang jahat itu.
Seorang
dai dengan tugas dakwahnya mengajak orang kepada Allah dalam taat dan
ibadah kepada-Nya. Aktivitas dakwahnya sangat didominasi oleh
penyampaian kata-kata. Sebab sasaran yang hendak dituju adalah akal
manusia itu sendiri. Jika tujuan dakwah adalah melakukan perubahan
(taghyir), maka faktor utama yang dapat mempengaruhi proses perubahan
adalah akal pikiran. Dengan adanya perubahan pada tataran pemahaman dan
pola pikir, maka perubahan persepsi dan tingkah laku bisa terjadi.
Penyampaian
kata-kata bahkan menjadi titik tekan tugas para nabi dan rasul. Seperti
yang Allah tegaskan kepada Rasulullah saw. Allah berfirman, “Jika
mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi
mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”
(As-Syura: 48)
Sebagai penerus tugas para nabi dan rasul, seorang
dai berdakwah menyampaikan risalah kepada manusia. Hendaknya ia selalu
meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya dalam memasarkan risalah ini
kepada manusia. Berbagai kajian dan petunjuk tentang kata-kata dan
ceramah yang berkesan telah banyak ditulis para ulama. Namun muaranya
tidak jauh berputar pada beberapa poin berikut ini:
1. Kuatnya Hubungan dengan Allah
Hubungan
yang menguatkannya, yang menjadi rujukan, tempat menyandarkan diri,
kepada-Nya ia mengadu, berdoa, dan berbagi. Seorang dai mengajak orang
lain menuju Allah. Bagaimana mungkin ia dapat mengajak kepada sesuatu
jika ia sendiri jauh dengannya dan lemah hubungannya dengan sesuatu itu.
Syeikh Muhammad Ghazali menyebutkan sifat ini sebagai pilar utama
seorang dai, yang tidak boleh diabaikan. Sebab jika setiap muslim
berkewajiban membina hubungan baik dengan Allah, apatah lagi seorang
dai.
Sejarah telah menjadi saksi bahwa tidak ada seorang nabi pun
atau pelaku perbaikan kecuali ia mempunyai hubungan yang kuat dengan
Allah. Jalinan mereka dengan Allah sangat kuat, hidup, dan selalu segar.
Tidak pernah putus barang sekejap pun dan tidak pernah layu. Terlihat
dalam aktivitas kesehariannya, saat bersama orang lain terlebih saat
sendiri. Syeikh Abdurrahman As-Sa’ati, ayah Imam Syahid Hasan Al-Banna
mengisahkan kegiatan anaknya ketika berada di rumah,
“Di antara
akhlaqnya adalah berpaling dari banyak orang dan hanya menyendiri
bersama Rabbnya, tidak ada yang tahu selain keluarga dekatnya saja. Di
rumahnya –Allah yang menjadi saksi- tidak pernah lepas dari mushaf,
tidak berhenti membaca, tidak pernah lalai dari zikir, ia membaca
Al-Qur’an memperdengarkan bacaannya kepada salah seorang hafizh di
antara kami. Jika tidak ada seorang hafizh kecuali anak kecil, ia pun
muraja’ah hafalannya dengan anak itu. Rumahnya penuh dengan bacaan
Al-Qur’an, sujud, larut dalam dzikir, dan mendaki ke ketinggian langit
spiritual. Ketika ia tahu cara Nabi membaca Al-Qur’an maka ia
praktekkan, termasuk waqaf-waqaf di mana Rasulullah berhenti, ia pun
berhenti. Terkadang badannya gemetaran, hatinya penuh ketakutan, gelisah
pada ayat-ayat ancaman, terhadap ayat-ayat gembira ia berbinar-binar,
jauh dari suasana di mana ia hidup, jauh terbawa makna ayat-ayat itu.”
Dan
semua orang yang pernah mendengar pidatonya mengakui, betapa Imam
Syahid mempunyai kata-kata yang sangat kuat. “Jika ia berpidato,
kata-katanya mengalir seolah-olah turun dari langit.” Kata seseorang
yang pernah menghadiri ceramahnya.
2. Selalu Memperbaiki Diri
Setiap
muslim wajib memperbaiki diri dari segala kekurangan. Apalagi seorang
dai. Boleh jadi ini merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan
Allah. Sebab siapa yang mengingat Allah ia akan teringat akan semua dosa
dan kekurangan dirinya serta menyadari semua aib pribadinya. Berbeda
halnya dengan orang yang lalai dari zikir. Ia pun akan lalai kepada
Allah bahkan lalai kepada dirinya sendiri. Ia berjalan tanpa arah dan
petunjuk. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang
yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka
sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr:19)
Sangat
berbahaya jika seorang dai mengajak orang melakukan sesuatu sementara
dirinya sendiri jauh darinya. Atau mencegah orang dari melakukan sesuatu
ia sendiri belum bisa terlepas darinya. Jika demikian, maka seruan
dakwah yang dikumandangkannya tak nyaring lagi. Seseorang berkata,
“Kalau saya melihat seorang dai merokok, kepercayaan saya kepadanya
berkurang dua puluh lima persen.”
Bahkan, tidak hanya ajakannya yang diabaikan orang, ia bisa mendapatkan murka dari Allah.
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Shaff:3)
Tentu
saja hal ini tidak dipahami secara tidak konstruktif, dengan
menyibukkan diri sendiri serta tidak peduli kepada perbaikan sekitarnya.
Aslih nafsaka wad’u ghairaka (perbaiki dirimu dan ajaklah orang lain),
begitu kata orang.
3. Kecerdasan Akal, Kebersihan Hati, dan Pemahaman yang Dalam tentang Islam
Sifat
ini hendaknya menjadi watak seorang dai. Yang dengan demikian ia bisa
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Menimbang persoalan dengan
timbangan yang benar dan tidak memihak. Dalam bahasa dakwah hal ini bisa
disebut sebagai hikmah. Seperti yang Allah firmankan,
“Allah
menganugerahkan Al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang
banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah:269)
Menurut Muhammad
Al-Ghazali, kecerdasan yang dimaksud, seseorang tidak perlu menjadi
jenius. Namun hanya dengan memiliki kemampuan melihat suatu permasalahan
apa adanya. Tidak menambah maupun mengurangi. Dengan cara pandang
seperti ini seorang dari dapat mendiagnosa sebuah persoalan dengan baik
dan pada gilirannya bisa memberikan terapi yang tepat sesuai dengan
permasalahan yang dihadapinya. Kata-kata yang disampaikannya menjadi
tepat sasaran.
Dengan kemampuan seperti inilah Rasulullah terlihat
menyampaikan nasihat yang berbeda-beda, melihat kondisi dan latar
belakang psikologis seseorang yang konsultasi kepada beliau. Suatu saat
beliau hanya mengatakan, “Janganlah kamu marah.” Dan Jariyah bin
Qudamah, orang yang bertanya itu pun puas dengan jawaban beliau. Bahkan
menurut riwayat Thabrani, pahalanya surga, seperti yang beliau sabdakan,
“Janganlah kamu marah, maka akan mendapat surga.” Suatu saat beliau
hanya mengatakan, “Katakan, aku beriman kepada Allah. Lalu
istiqamahlah.”
Kebersihan hati yang dimaksud tentu bukannya
kebersihan hati yang setaraf dengan para malaikat. Cukuplah bagi seorang
dai memiliki hati yang penuh cinta kepada manusia, cemburu kepada
mereka, lembut dan tidak kasar memperlakukan mereka. Ia senang dengan
kebaikan mereka dan bukannya senang melihat kesengsaraan mereka. Di
hadapannya maupun tidak sikapnya selalu sama. Senantiasa berharap atas
kebaikannya. Sehingga antara hatinya dan hati mereka terhadap tali yang
menghubungkan. Ketulusan cintanya melahirkan getar saat tangannya
berjabat, mulutnya berucap, dan matanya menatap. Doa yang dipanjatkan
tanpa sepengetahuan mereka membuat nama-nama mereka selalu hadir dalam
hidupnya. Sehingga ketika bertemu, pertemuan itu pun terasa hangat
dirasakan oleh mereka.
Kejelasan pemahaman dimiliki karena
penguasaannya terhadap konsep universalitas Islam. Hal ini membuatnya
mampu mengidentifikasi setiap persoalan. Ia dapat membedakan mana yang
bisa dikategorikan sebagai persoalan aqidah dan mana yang bukan. Dengan
hal ini pula seorang dai dapat berinteraksi dengan semua lapisan
masyarakat dan dapat melihat kekurangan serta kelebihan mereka. Ia juga
memiliki skala prioritas dalam dakwahnya.
Dalam menyikapi berbagai
perpecahan madzhab dan aliran di Mesir, Hasan Al-Banna dengan Ikhwannya
mempunyai sikap yang jelas. “Karena Ikhwan meyakini bahwa perbedaan
dalam hal-hal furu’ adalah sebuah keniscayaan. Harus terjadi. Sebab
prinsip-prinsip Islam yang berupa ayat-ayat, hadits, amal Nabi bisa
dipahami secara berbeda. Oleh karenanya perbedaan semacam ini juga
terjadi di kalangan para sahabat. Dan perbedaan itu terus terjadi sampai
hari Kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ra saat ia berkata kepada Abu
Ja’far yang ingin memaksa orang mengikuti buku Al-Muwattha’, “Para
sahabat Rasulullah berpencar di negeri-negeri. Masing-masing kaum
mempunyai ilmu. Jika Anda memaksa mereka kepada satu ilmu, akan terjadi
fitnah.” Tidak ada salahnya dengan perbedaan, namun yang salah adalah
sikap fanatik terhadap pendapat tertentu dan menutup diri dari pendapat
orang lain. Cara pandang semacam ini dapat menyatukan hati yang
bersengketa ke dalam kesatuan fikrah. Cukuplah orang-orang bersatu
menjadi muslim sebagaimana yang dikatakan Zaid r.a. Pandangan seperti
ini sangat penting dimiliki sebuah jamaah yang ingin menyebarkan fikrah
pada suatu negeri di mana yang dilanda sebuah konflik tentang masalah
yang tidak semestinya diperdebatkan.”
4. Keikhlasan
Keikhlasan
merupakan tuntutan yang harus dipenuhi setiap muslim dalam ibadahnya
kepada Allah. Sebab ia sebagai syarat diterimanya ibadah. Ibnu
Atha’illah berkata, “Amal perbuatan merupkan tubuh yang tegak. Sedangkan
ruhnya adalah adanya rahasia di balik amal yang berupa keikhlasan.”
Terlebih lagi bagi seorang dai dan aktivis. Aktivitas dakwahnya adalah
sebaik-baik amal dan sarana taqarrub kepada Allah, tentu keikhlasan
menjadi lebih urgen lagi. Seorang dai hendaknya menjauhkan kepentingan
pribadi yang berupa sebutan, imbalan, dan pengaruh pribadi karena
aktivitas dakwahnya.
Keikhlasan tentu saja ada buahnya. Aktivitas
dakwah yang dilandasi dengan keikhlasan tentu berbeda hasilnya dengan
yang dilakukan karena pamrih. Bersamaan dengan kata-kata yang diucapkan,
interaksi yang dilakukan, dan kegiatan yang dilaksanakan seorang dai
selalu menambatkan hatinya kepada Dzat yang menguasai dan
membolak-balikkan hati. Kata orang Arab, “Kata-kata yang keluar dari
hati akan sampai kepada hati pula.”
Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima selain kebaikan.” Bagi
seorang dari, kebaikan yang hendak dipersembahkan kepada Allah adalah
keyakinannya terhadap keutamaan dakwahnya dan harapannya yang
ditambatkan kepada ridha Allah semata.
5. Keluasan Wawasan
Dakwah
di zaman modern sekarang ini harus didukung oleh keluasan wawasan.
Karena seorang dai bertugas mengarahkan dan membimbing manusia dengan
segala strata sosial dan intelektual mereka. Ia berbicara dengan dokter,
pasien, guru, pegawai, kuli, insinyur, pedagang, orang pintar, dan
orang bodoh. Mestinya ada penguasaan wawasan yang dapat memasuki pola
pikir mereka semua.
Tidak harus menguasai semua disiplin ilmu
secara mendalam, namun wawasan global tentang berbagai persoalan
hendaknya dipahami. Kecuali wawasan keislaman yang secara asasi harus
dikuasai. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah serta wawasan
keislaman lain; budaya Islam, sejarah Islam, dan lain-lain. Oleh karena
itulah Imam Syahid Hasan Al-Banna memberikan tekanan khusus kepada sisi
ini dan itu sebagai salah satu karakter dakwahnya. Bahwa dakwah Ikhwan
juga bercirikan Jamaah Ilmiyah Tsaqafiyah (organisasi ilmu pengetahuan
dan wawasan). Dan semua sarana yang dimilikinya pada dasarnya untuk
membina intelektual, hati, dan jasad para anggotanya.
Keluasan
wawasan yang dimiliki seorang dai membuatnya mampu menemukan ‘pembuka
hati’ bagi orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Ketika berkomentar
tentang wawasan Abu Bakar yang paling tahu tentang nasab suku Quraisy
dan paling tahu tentang apa yang baik dab buruk mereka, Munir Muhammad
Al-Ghadhban berkata, “Pengetahuan tidak kalah penting daripada akhlaq.
Yang dituntut dalam masalah ini bukan segala macam pengetahuan. Tetapi
pengetahuan mengenai masyarakat dan kecenderungan-kecenderungannya.
Pengetahuan yang menjelaskan karakteristik jiwa manusia. Pengetahuan
inilah yang akan memberikan daya gerak kepada dai yang merupakan pintu
masuk ka hati mad’u. Setiap hati memiliki ‘kunci’, dan tugas seorang dai
adalah untuk mendapatkan kunci itu agar ia bisa memasuki hatinya lalu
hati itu menyambutnya.”
6. Menguasai Metodologi Komunikasi
Sebab
ada pepatah Arab mengatakan, likulli maqam maqal (bagi masing-masing
momen ada ungkapannya). Dan masing-masing orang memiliki kecenderungan
terhadap satu bentuk komunikasi tertentu. Ada yang suka dengan gaya
bicara yang berapi-api. Ada yang tertarik dengan ceramah yang banyak
‘lawak’nya. Ada pula yang tidak suka terhadap hal-hal yang monoton dan
serius dan ia lebih suka kalau ceramah banyak diselingi ilustrasi.
Kemampuan memilih model komunkasi yang tepat akan menjadi daya tarik
yang dapat menggait hati. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
kejelasan (komunikasi) adalah sihir.”
Al-Bahi Khauli
merekomendasikan kepada seorang dai agar menggunakan beberapa metodologi
dalam aktivitas dakwah yang dilakukannya. Di antaranya adalah:
1.
Kisah: karena dengan kisah sesuatu yang bersifat normatif bisa lebih
mudah dipahami. Karena nilai-nilai itu berubah menjadi kaki yang
berjalan, tangan yang bergerak, dan mulut yang berucap. Barangkali
inilah di antara rahasia Al-Qur’an yang menggunakan metode kisah sebagai
salah satu sarananya. Agar Islam dapat dipahami sebagai agama yang
realistis dan tidak hanya bersifat kelangitan tanpa bisa diterapkan
dalam kehidupan nyata. Terbukti para pelaku sejarah itu mampu
melakukannya. Di samping ia juga menjadi pelajaran bagi orang-orang
beriman.
2. Perumpamaan: karena dengan perumpamaan dapat mendekatkan
yang jauh dan menjelaskan yang buram, juga menentukan kadar sesuatu
yang abstrak. Al-Qur’an dan hadits sendiri seringkali menggunakan
perumpamaan sebagai sarana menjelaskan kepada kaum Muslimin tentang
ajaran Islam. Tentang hakikat amal perbuatan orang-orang kafir Allah
berfirman, ” Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur:39)
3. Perbandingan: dan
tujuannya adalah untuk menjelaskan kadar keterpautan sebuah nilai. Dalam
salah satu sabdanya Rasulullah bersabda, “Shalat berjamaah lebih mulia
daripada shalat sendiri dengan selisih dua puluh tujuh derajat.” Juga
sabda beliau, “Perbandingan antara orang berilmu dan yang tidak berilmu
seperti perbandinganku dengan sahabatku yang paling rendah
(pengetahuannya.”
6. Berdoa
Setelah seluruh
upaya dan sarana dikerahkan untuk menggait orang menuju Allah dalam
aktivitas dakwah, seorang dai tidak boleh menyandarkan hasil kepada
kemampuan dan upayanya. Upaya itu harus dikembalikan kepada Allah yang
menguasai hati dan pikiran. Ini akan menjaganya dari sikap ghurur
apabila dakwahnya mendapatkan kemenangan dan menjauhkannya dari berputus
asa jika menemui kegagalan. Sebab ia yakin, seberapa hebat sarana yang
dikuasainya, ia hanyalah senjata bisa mengenai sasaran dan bisa tidak.
Doa juga dapat menutupi segala kekurangan dan kelemahannya. Sebab tidak
ada orang yang memiliki semua dan menguasai segalanya secara ideal.
Adakalanya seseorang memiliki kelebihan pada satu sisi, namun ia juga
memiliki kekurangan pada sisi lain. Dan berdoa adalah ibadah. Adalah
senjata seorang mukmin di saat senjata lain tidak mempan. Ketajaman doa
dapat menembus sesuatu yang tidak bisa ditembus senjata biasa.
7. Selanjutnya, Hidayah dari Allah
Karena
dai hanya menyeru dan menggerakkan potensi yang diberikan Allah.
Selanjutnya hasilnya dikembalikan kepada Allah. Sebuah kegagalan, selain
harus disikapi secara proporsional dengan melakukan evaluasi aktivitas
dakwah dan motivasi amal da’awi, tentu harus dikembalikan kepada
kehendak Allah yang berhak memberi hidayah atau tidak memberi. Dan tentu
saja tidak berhenti di situ. Optimisme harus selalu ditanamkan dalam
diri seberat apapun medan dakwah yang dilalui. Sebab perjalanan belum
berakhir. Hidup manusia tidak berhenti sampai di sini. Masih ada harapan
untuk berubah dan kembali ke jalan yang benar.
Dengan pemahaman
inilah kita tidak pernah menganggap Nabi Nuh gagal dalam dakwahnya. Luth
gagal. Shalih gagal. Sebab semua sarana dan prasarana telah dikerahkan
untuk mengetuk pintu hati mereka. Rasulullah juga tidak pernah gagal
ketika berambisi agar paman tercinta Abu Thalib mendapatkan hidayah.
Karena “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk.” (Al-Qashash:56)
Kegagalan adalah jika si dai
itu sendiri terhapus pahala aktivitas dakwahnya karena dosanya atau is
sendiri terpental dari aktivitas dakwah, melempar handuk untuk
meninggalkan kancah pertarungan. Lalu ia hanya duduk-duduk bersama
‘qa’idin’. Semoga Allah mengokohkan kaki kita dengan kata-kata-Nya yang
tetap. Wallahu A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar