Ridha Ilahi
Oleh: Fikri Yathir
Pada suatu hari, Nabi Musa as bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai.
Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, “Wahai
Kalimullah, selama hidup saya telah berusaha untuk menjadi orang baik.
Saya melakukan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk
itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa; saya hanya ingin
tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan
kepada-Nya!”
“Baik,” kata Musa seraya melanjutkan
perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. “Mau
ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku
tidak pernah shalat, puasa, atau amal saleh lainnya. Tanyakan kepada
Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya untukku.” Musa menyanggupi untuk
menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.
Ketika kembali dari Sinai,
ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, “Bagimu pahala besar,
yang indah-indah.” Orang saleh itu berkata, “Saya memang sudah
menduganya.” Kepada si pemabuk, Musa berkata, “Tuhan telah mempersiapkan
bagimu tempat yang paling buruk.” Mendengar itu si pemabuk bangkit,
dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan
tempat yang paling jelek.
“Alhamdulillah. Saya tidak peduli
tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan
masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku
kira tidak seorang pun yang mengenalku,” ucap pemabuk itu dengan
kebahagiaan yang tulus. Akhirnya nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah.
Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di
surga.
Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan
demikian: “Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak
memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan
amal saleh. Orang yang kedua membuat Aku senang, karena ia senang pada
apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku
menyebabkan Aku senang kepadanya.”
Sandungan pertama dalam
perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa
sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala
anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusaha keras
untuk mengatasinya—lahir dan batin, lalu kita mohon pertolongan Allah.
Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan
pertolongan-Nya. Tuhan berkewajiban untuk melayani kita. Ketika yang
kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya sambil
berargumentasi, “Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua
pengorbanan yang telah kuberikan?”
“Janganlah kamu memberi dan
menganggap pemberianmu sudah banyak,” firman Tuhan (Al-Qur’an 74: 6).
Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu
berkata seperti itu, ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara
lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena
putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara
batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang
menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian
Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. Ia tidak
berjalan menuju Tuhan. Ia berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak
mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.
Kepuasan akan
diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang
sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa
telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat
menemukan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga
pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama
menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyiakan pengorbanan
kawan-kawannya.
Kepada siapa saja di antara Anda yang taat
beribadat, bacalah doa ini setelah shalat Anda: “Tuhanku, ampunan-Mu
lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika
dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika
aku tidak berhak untuk meraih kasih-Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku
dan meliputiku, karena kasih-sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan
rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi.”
Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan
kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa
Nabi Muhammad SAW, ketika ia berlindung di kebun Utbah dengan kaki
berlumuran darah, “Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku,
ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang
Mahakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada
tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang
memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau berikan
kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan
Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih
luas. Aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan.
Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku.
Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali
melalui-Mu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar