OLEH ADHITYA RAMADHAN
Tubuh atletis, performa seksual, dan kesuburan oleh kebanyakan orang diidentikkan dengan kejantanan pria. Bagi pria, kejantanan menjadi sangat penting karena menyangkut kualitas hidup. Lalu, adakah kaitan testosteron dengan semua itu?
Hormon testosteron berperan penting membangun sosok laki-laki. Testosteron pula yang membentuk jaringan organ reproduksi pria, membangkitkan libido, dan produksi sperma. Testosteron juga membangun dan mempertahankan karakteristik seksual sekunder pria, seperti kepadatan tulang dan otot, serta menumbuhkan rambut di beberapa bagian tubuh (janggut, kumis, rambut ketiak, dan rambut di bagian kemaluan), suara yang lebih berat dibandingkan perempuan, serta mengurangi risiko osteoporosis.
Sebenarnya, testosteron yang termasuk hormon androgen ini dihasilkan juga pada perempuan. Namun, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pria.
Lalu, apa jadinya ketika produksi hormon testosteron dalam tubuh pria berkurang atau bahkan tidak ada? Kondisi di mana produksi hormon testosteron dalam tubuh tidak optimal disebut hipogonadisme. Penyebabnya, gangguan pada kelenjar yang menstimulasi produksi hormon testosteron, gangguan pada testis akibat berbagai hal, atau bahkan bawaan lahir.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Em Yunir menjelaskan, produksi hormon testosteron pada testis dipengaruhi gonadotropin releasing hormone dari hipotalamus serta follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari kelenjar hipofisis pada otak.
Gangguan hipotalamus dan hipofisis bisa menyebabkan produksi FSH dan LH terganggu. Ujungnya, mengganggu produksi testosteron pada testis (hipogonadotropik-hipogonadisme).
Gangguan kelenjar hipofisis bisa disebabkan penyakit kronis, seperti HIV/ AIDS, tuberkulosis, diabetes, hipertensi, pascaoperasi hipofisis, atau paparan radiasi. Usia menua dan kegemukan dapat juga menyebabkan hipogonadisme. Pada orang gemuk, lemak yang menumpuk pada tubuh menghasilkan enzim aromatase yang mengganggu produksi testosteron.
Selain akibat gangguan pada hipotalamus atau kelenjar hipofisis, hipogonadisme juga terjadi apabila testis sebagai ”pabrik” testosteron terganggu akibat infeksi, cedera, kanker, atau pascakastrasi/kebiri. Walaupun produksi FSH dan LH dari hipofisis normal, produksi testosteron tak terjadi karena testisnya bermasalah (hipergonadotropik-hipogonadisme).
Sejak bayi
Pada bayi laki-laki, hipogonadisme dapat terjadi bilamana saat lahir salah satu atau kedua testis tidak turun ke skrotum, tetapi masih ada di rongga perut. Suhu tubuh yang lebih panas dari suhu di skrotum akan merusak testis. Karena itu, penting bagi orangtua memeriksa apakah testis anaknya sudah pada tempatnya ketika lahir.
Hipogonadisme dapat dijumpai pada bayi, masa pubertas, dewasa, dan lanjut usia. Oleh karena itu, manifestasi klinisnya berbeda-beda sesuai usia.
Apabila hipogonadisme terjadi dalam kandungan akan mengganggu proses pembentukan organ reproduksi bayi sehingga terjadi ambiguitas alat reproduksi. Jika terjadi pada masa pubertas akan mengganggu perkembangan tanda-tanda seksual sekunder. Hal itu misalnya penis kecil, otot lemas, suara seperti anak kecil, dan tidak tumbuh rambut di beberapa bagian tubuh.
Hipogonadisme pada orang dewasa, secara umum, di antaranya ditandai berkurangnya libido, terganggunya perkembangan organ reproduksi dan produksi sperma, serta disfungsi ereksi. Kepadatan tulang dan otot menurun, rambut tidak tumbuh di beberapa bagian, serta suara seperti anak kecil.
Memang, semakin tua seorang pria, produksi testosteron kian menurun. Namun, pada orang lanjut usia dengan hipogonadisme, penurunan itu berlangsung lebih cepat daripada biasanya. ”Gejala-gejala yang dialami orang yang mengalami hipogonadisme akan menyebabkan kualitas fisik dan mental menurun,” tutur Yunir.
Disfungsi ereksi
Salah satu gejala klinis hipogonadisme yang muncul pada orang dewasa adalah disfungsi ereksi. Tetapi, Yunir mengingatkan, disfungsi ereksi tak melulu disebabkan kekurangan hormon testosteron.
”Hipogonadisme bukanlah satu-satunya penyebab disfungsi ereksi. Pada orang normal mungkin iya, tetapi pada orang dengan penyakit tertentu, misalnya, diabetes, harus benar dipastikan apakah hipogonadisme atau diabetesnya yang menyebabkan disfungsi ereksi,” ujarnya.
Dokter spesialis pada Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI RS Cipto Mangunkusumo Suharko Soebardi menambahkan, beberapa penyakit berpengaruh besar pada terjadinya disfungsi ereksi. Hal itu di antaranya diabetes (64 persen), hipertensi (52 persen), dan depresi (90 persen).
Yunir menambahkan, pemeriksaan testosteron, termasuk TSH dan LH, harus dilakukan untuk memastikan apakah seseorang mengalami hipogonadisme atau tidak. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan level testosteron di atas 350 ng/dl, maka tak perlu terapi. Namun, bila hasil pemeriksaan testosteron kurang dari 230 ng/dl, diperlukan terapi pengganti testosteron.
Pemberian testosteron pengganti (bisa obat minum, suntik, implant, atau gel) dilakukan untuk waktu tertentu sampai produksi testosteron dalam tubuh normal kembali.
Meski demikian, Yunir mengingatkan, pemberian testosteron pengganti jangan hanya dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan level testosteron. Perlu diamati juga adanya gejala khas akibat rendahnya testosteron.
Tubuh atletis, performa seksual, dan kesuburan oleh kebanyakan orang diidentikkan dengan kejantanan pria. Bagi pria, kejantanan menjadi sangat penting karena menyangkut kualitas hidup. Lalu, adakah kaitan testosteron dengan semua itu?
Hormon testosteron berperan penting membangun sosok laki-laki. Testosteron pula yang membentuk jaringan organ reproduksi pria, membangkitkan libido, dan produksi sperma. Testosteron juga membangun dan mempertahankan karakteristik seksual sekunder pria, seperti kepadatan tulang dan otot, serta menumbuhkan rambut di beberapa bagian tubuh (janggut, kumis, rambut ketiak, dan rambut di bagian kemaluan), suara yang lebih berat dibandingkan perempuan, serta mengurangi risiko osteoporosis.
Sebenarnya, testosteron yang termasuk hormon androgen ini dihasilkan juga pada perempuan. Namun, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pria.
Lalu, apa jadinya ketika produksi hormon testosteron dalam tubuh pria berkurang atau bahkan tidak ada? Kondisi di mana produksi hormon testosteron dalam tubuh tidak optimal disebut hipogonadisme. Penyebabnya, gangguan pada kelenjar yang menstimulasi produksi hormon testosteron, gangguan pada testis akibat berbagai hal, atau bahkan bawaan lahir.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Em Yunir menjelaskan, produksi hormon testosteron pada testis dipengaruhi gonadotropin releasing hormone dari hipotalamus serta follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari kelenjar hipofisis pada otak.
Gangguan hipotalamus dan hipofisis bisa menyebabkan produksi FSH dan LH terganggu. Ujungnya, mengganggu produksi testosteron pada testis (hipogonadotropik-hipogonadisme).
Gangguan kelenjar hipofisis bisa disebabkan penyakit kronis, seperti HIV/ AIDS, tuberkulosis, diabetes, hipertensi, pascaoperasi hipofisis, atau paparan radiasi. Usia menua dan kegemukan dapat juga menyebabkan hipogonadisme. Pada orang gemuk, lemak yang menumpuk pada tubuh menghasilkan enzim aromatase yang mengganggu produksi testosteron.
Selain akibat gangguan pada hipotalamus atau kelenjar hipofisis, hipogonadisme juga terjadi apabila testis sebagai ”pabrik” testosteron terganggu akibat infeksi, cedera, kanker, atau pascakastrasi/kebiri. Walaupun produksi FSH dan LH dari hipofisis normal, produksi testosteron tak terjadi karena testisnya bermasalah (hipergonadotropik-hipogonadisme).
Sejak bayi
Pada bayi laki-laki, hipogonadisme dapat terjadi bilamana saat lahir salah satu atau kedua testis tidak turun ke skrotum, tetapi masih ada di rongga perut. Suhu tubuh yang lebih panas dari suhu di skrotum akan merusak testis. Karena itu, penting bagi orangtua memeriksa apakah testis anaknya sudah pada tempatnya ketika lahir.
Hipogonadisme dapat dijumpai pada bayi, masa pubertas, dewasa, dan lanjut usia. Oleh karena itu, manifestasi klinisnya berbeda-beda sesuai usia.
Apabila hipogonadisme terjadi dalam kandungan akan mengganggu proses pembentukan organ reproduksi bayi sehingga terjadi ambiguitas alat reproduksi. Jika terjadi pada masa pubertas akan mengganggu perkembangan tanda-tanda seksual sekunder. Hal itu misalnya penis kecil, otot lemas, suara seperti anak kecil, dan tidak tumbuh rambut di beberapa bagian tubuh.
Hipogonadisme pada orang dewasa, secara umum, di antaranya ditandai berkurangnya libido, terganggunya perkembangan organ reproduksi dan produksi sperma, serta disfungsi ereksi. Kepadatan tulang dan otot menurun, rambut tidak tumbuh di beberapa bagian, serta suara seperti anak kecil.
Memang, semakin tua seorang pria, produksi testosteron kian menurun. Namun, pada orang lanjut usia dengan hipogonadisme, penurunan itu berlangsung lebih cepat daripada biasanya. ”Gejala-gejala yang dialami orang yang mengalami hipogonadisme akan menyebabkan kualitas fisik dan mental menurun,” tutur Yunir.
Disfungsi ereksi
Salah satu gejala klinis hipogonadisme yang muncul pada orang dewasa adalah disfungsi ereksi. Tetapi, Yunir mengingatkan, disfungsi ereksi tak melulu disebabkan kekurangan hormon testosteron.
”Hipogonadisme bukanlah satu-satunya penyebab disfungsi ereksi. Pada orang normal mungkin iya, tetapi pada orang dengan penyakit tertentu, misalnya, diabetes, harus benar dipastikan apakah hipogonadisme atau diabetesnya yang menyebabkan disfungsi ereksi,” ujarnya.
Dokter spesialis pada Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI RS Cipto Mangunkusumo Suharko Soebardi menambahkan, beberapa penyakit berpengaruh besar pada terjadinya disfungsi ereksi. Hal itu di antaranya diabetes (64 persen), hipertensi (52 persen), dan depresi (90 persen).
Yunir menambahkan, pemeriksaan testosteron, termasuk TSH dan LH, harus dilakukan untuk memastikan apakah seseorang mengalami hipogonadisme atau tidak. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan level testosteron di atas 350 ng/dl, maka tak perlu terapi. Namun, bila hasil pemeriksaan testosteron kurang dari 230 ng/dl, diperlukan terapi pengganti testosteron.
Pemberian testosteron pengganti (bisa obat minum, suntik, implant, atau gel) dilakukan untuk waktu tertentu sampai produksi testosteron dalam tubuh normal kembali.
Meski demikian, Yunir mengingatkan, pemberian testosteron pengganti jangan hanya dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan level testosteron. Perlu diamati juga adanya gejala khas akibat rendahnya testosteron.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar