Sabtu, 26 Januari 2013

KIAT-KIAT MERAWAT KEBERKAHAN HARTA

Saudaraku…
Salah satu nikmat terbesar yang Allah swt karuniakan kepada kita adalah nikmat harta. Bahkan harta dan anak-anak, Allah sebut sebagai lambang perhiasan dunia. Artinya ketika kedua-duanya telah berada dalam genggaman kita, seolah-olah kita telah memiliki dunia dan seisinya. “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” Al Kahfi: 46.

Penyebutan harta lebih didahulukan daripada anak-anak, tentu memiliki rahasia yang agung. Menjadi aksioma, bahwa banyak orang yang dapat meraih kebahagiaan hidup lantaran memiliki harta, walaupun anak keturunan yang didamba belum hadir meramaikan sebuah keluarga.

Tapi tidak sedikit orang yang hidupnya tak terarah dan linglung, karena menanggung beban hutang yang menyesakan dada. Walaupun ada suara tawa dan tangis anak-anak dalam keluarga.

Maka perpaduan antara harta dan anak-anak, menjadikan kebahagiaan kita dalam hidup terasa sempurna. Walaupun tiada kesempurnaan hakiki selama kaki kita masih menginjak bumi. Karena kesempurnaan itu milik Allah swt dan akan kita raih di akherat sana.

Namun kedua nikmat ini sewaktu-waktu bisa berubah menjadi bencana besar dan kehinaan abadi jika kita tak menjadikannya sebagai sarana taqarrub kepada Allah swt. “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu. Dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” At Taghabun: 15.

Saudaraku…
Banyak pintu kebaikan yang tidak mungkin kita buka kecuali dengan harta. Tidak sedikit kran-kran amal shalih, yang tak mengucur melainkan dengan sarana harta.

Zakat, sedekah, menyantuni anak yatim, membiayai sekolah bagi anak-anak yang kurang mampu, membebaskan orang yang dililit hutang, membantu orang yang tak mampu dan yang seirama dengan itu. Itu merupakan contoh peluang amal shalih, yang tak mampu kita raih melainkan dengan harta.

Nabi saw pernah bersabda, “Orang-orang miskin dari umatku masuk ke dalam surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih waktu lima ratus tahun.” H.R; Tirmidzi dan Ahmad.

Orang miskin, mendahului orang kaya masuk ke dalam surga sejarak 500 tahun. Namun bukan berarti tingkatan surganya lebih tinggi daripada orang kaya. Tentu tingkatan surga ditentukan oleh banyak atau tidaknya amal shalaih yang kita ukir dalam kehidupan ini.

Jika kita mampu memaksimalkan harta di jalan yang Allah kehendaki dan ridhai, maka sudah barang tentu, tingkatan surga kita lebih tinggi daripada orang yang tidak memiliki harta. Selama kwalitas iman kita sama dengan mereka.

Saudaraku..
Keberkahan harta, perlu kita pelihara dengan sekuat kemampuan kita. Agar ia tak menjadi bencana dan malapetaka bagi kita. Baik di dunia maupun di akherat sana.

Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah, menyebutkan ada tiga kiat untuk memelihara keberkahan harta milik kita:

• Mendapatkannya dengan cara yang tidak zalim (sesuai aturan syari’at).

• Membelanjakannya dengan tepat guna, tidak melampaui batas (boros).

• Mengukur (menghemat) pengeluarannya tanpa harus kikir atau pelit.
(hakadza allamatnil hayat).

Saudaraku..
Kita harus selalu memastikan bahwa harta yang masuk ke rumah kita, rekening kita, kantong kita, dikonsumsi tubuh kita dan keluarga, yang telah mewujud sawah ladang kita dan seterusnya. Kita peroleh dari jalan yang halal. Bukan dari jalur yang syubhat. Apatah lagi dari kran-kran yang haram.

Karena mengkonsumsi harta yang haram akan mendapat ancaman di dunia, di liang kubur, terlebih di akherat kelak.

Ancaman di dunia; dicabutnya keberkahan harta, mengendapnya penyakit di dalam tubuh kita atau keluarga kita, menyingkirnya keterkabulan do’a dan yang senada dengan itu.

Ancaman di liang kubur; si pelaku akan di bakar api di dalam kuburnya. Tersebut dalam hadits muttafaq alaih, bahwa Mud’im seorang budak yang ikut serta dalam perang Khaibar bersama Nabi saw. Setelah ia gugur karena terkena panah nyasar, para sahabat berkomentar, “Selamat bergembira, karena ia telah mati syahid.” Nabi saw bersabda, “Tidak demikian, demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kain woll yang dikenakannya pada perang Khaibar termasuk harta rampasan perang yang belum diserahkan. Yang dengannya dia akan dibakar api.”

Sedangkan di akherat, tiada daging yang tumbuh dari harta yang haram, terkecuali neraka lebih pantas bagi orang yang melakukannya. “Wahai Ka’ab, tidaklah suatu daging yang tumbuh dari harta yang haram, melainkan api neraka lebih layak untuknya.” Demikian pesan Nabi kepada Ka’ab bin Ajrah dalam sunan Tirmidzi.

Saudaraku..
Bukan hanya harta yang kita dapatkan harus dari jalur yang halal saja, tetapi penyalurannya juga harus pada jalan yang tepat dan sesuai aturan Allah dan rasul-Nya.

Tidak kita salurkan ke tempat-tempat dosa dan maksiat serta tidak kita belanjakan secara boros dan mubazir.

Sekecil apapun kadar harta yang kita belanjakan di jalan maksiat, maka hal itu termasuk pemborosan. Sebaliknya sebanyak apapun harta yang kita keluarkan di jalan ketaatan, maka hal itu bukan termasuk pembaziran harta. Itulah yang pernah diisyaratkan oleh Mujahid rahimahullah.

Saudaraku..
Berhemat, jelas berbeda maknanya dengan pelit alias bakhil. Yang pertama identik dengan nilai positif, dan sebaliknya pelit mengandung arti negative.

Ibnu Katsir mengomentari firman-Nya, “(Ibadurrahman) adalah orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian itu.” Al Furqan: 67.

“Yaitu orang-orang yang tidak membelanjakan harta dengan mubazir melebihi kadar kebutuhan (konsumtif) dan tidak pula kikir dalam menafkahi keluarganya (mengurangi hak-hak mereka), apalagi terlalu membatasinya. Tapi mereka mengambil pilihan tengah. Karena sebaik-baik perkara adalah di pertengahannya. Tidak konsumsif dan tidak pula pelit.”

Ali bin Thalib ra pernah bertutur, “Harta yang engkau keluarkan untuk keperluanmu dan keluargamu dengan tidak boros dan kikir serta harta yang engkau sedekahkan adalah harta yang akan menjadi bagianmu. Sedangkan harta yang engkau infakkan karena riya’ dan sum’ah, maka itu merupakan bagian setan.”

Ibnul Jauzi pernah berkata, “Orang yang cerdas merancang dengan akalnya sumber ma’isyahnya di dunia. Jika ia miskin, ia bersungguh-sungguh mengais rezki dan berupaya melepaskan diri dari menghiba menghina diri di depan manusia serta berupaya membatasi ketergantungan terhadap makhluk dan mencukupkan diri dengan sifat qana’ah. Dengan demikian ia akan hidup dengan tidak tergantung kepada manusia dan mulia (terhormat) di tengah-tengah mereka.

Jika ia kaya, hendaknya ia mengatur penyaluran hartanya agar ia tidak jatuh miskin dan merendah hiba di hadapan manusia.”

Saudaraku..
Jika kita cermat dan cerdas memelihara ketiga hal ini, insyaallah keberkahan hidup dapat kita rasakan dan keberkahan harta yang kita punya semakin bertambah dan tak akan pernah berkurang. Wallahu a’lam bishawab.

Riyadh, 23 Juni 2012 M

Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
www.Inspirasiislami.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar