KIAT-KIAT MERAWAT KEBERKAHAN HARTA
Saudaraku…
Salah satu nikmat terbesar yang Allah swt karuniakan kepada kita adalah
nikmat harta. Bahkan harta dan anak-anak, Allah sebut sebagai lambang
perhiasan dunia. Artinya ketika kedua-duanya telah berada dalam
genggaman kita, seolah-olah kita telah memiliki dunia dan seisinya.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” Al Kahfi: 46.
Penyebutan harta lebih didahulukan daripada anak-anak, tentu memiliki
rahasia yang agung. Menjadi aksioma, bahwa banyak orang yang dapat
meraih kebahagiaan hidup lantaran memiliki harta, walaupun anak
keturunan yang didamba belum hadir meramaikan sebuah keluarga.
Tapi tidak sedikit orang yang hidupnya tak terarah dan linglung, karena
menanggung beban hutang yang menyesakan dada. Walaupun ada suara tawa
dan tangis anak-anak dalam keluarga.
Maka perpaduan antara
harta dan anak-anak, menjadikan kebahagiaan kita dalam hidup terasa
sempurna. Walaupun tiada kesempurnaan hakiki selama kaki kita masih
menginjak bumi. Karena kesempurnaan itu milik Allah swt dan akan kita
raih di akherat sana.
Namun kedua nikmat ini sewaktu-waktu bisa
berubah menjadi bencana besar dan kehinaan abadi jika kita tak
menjadikannya sebagai sarana taqarrub kepada Allah swt. “Sesungguhnya
harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu. Dan di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” At Taghabun: 15.
Saudaraku…
Banyak
pintu kebaikan yang tidak mungkin kita buka kecuali dengan harta. Tidak
sedikit kran-kran amal shalih, yang tak mengucur melainkan dengan sarana
harta.
Zakat, sedekah, menyantuni anak yatim, membiayai
sekolah bagi anak-anak yang kurang mampu, membebaskan orang yang dililit
hutang, membantu orang yang tak mampu dan yang seirama dengan itu. Itu
merupakan contoh peluang amal shalih, yang tak mampu kita raih melainkan
dengan harta.
Nabi saw pernah bersabda, “Orang-orang miskin
dari umatku masuk ke dalam surga sebelum orang-orang kaya dengan selisih
waktu lima ratus tahun.” H.R; Tirmidzi dan Ahmad.
Orang
miskin, mendahului orang kaya masuk ke dalam surga sejarak 500 tahun.
Namun bukan berarti tingkatan surganya lebih tinggi daripada orang kaya.
Tentu tingkatan surga ditentukan oleh banyak atau tidaknya amal shalaih
yang kita ukir dalam kehidupan ini.
Jika kita mampu
memaksimalkan harta di jalan yang Allah kehendaki dan ridhai, maka sudah
barang tentu, tingkatan surga kita lebih tinggi daripada orang yang
tidak memiliki harta. Selama kwalitas iman kita sama dengan mereka.
Saudaraku..
Keberkahan harta, perlu kita pelihara dengan sekuat kemampuan kita.
Agar ia tak menjadi bencana dan malapetaka bagi kita. Baik di dunia
maupun di akherat sana.
Syekh Mustafa Siba’i rahimahullah, menyebutkan ada tiga kiat untuk memelihara keberkahan harta milik kita:
• Mendapatkannya dengan cara yang tidak zalim (sesuai aturan syari’at).
• Membelanjakannya dengan tepat guna, tidak melampaui batas (boros).
• Mengukur (menghemat) pengeluarannya tanpa harus kikir atau pelit.
(hakadza allamatnil hayat).
Saudaraku..
Kita harus selalu memastikan bahwa harta yang masuk ke rumah kita,
rekening kita, kantong kita, dikonsumsi tubuh kita dan keluarga, yang
telah mewujud sawah ladang kita dan seterusnya. Kita peroleh dari jalan
yang halal. Bukan dari jalur yang syubhat. Apatah lagi dari kran-kran
yang haram.
Karena mengkonsumsi harta yang haram akan mendapat ancaman di dunia, di liang kubur, terlebih di akherat kelak.
Ancaman di dunia; dicabutnya keberkahan harta, mengendapnya penyakit di
dalam tubuh kita atau keluarga kita, menyingkirnya keterkabulan do’a
dan yang senada dengan itu.
Ancaman di liang kubur; si pelaku
akan di bakar api di dalam kuburnya. Tersebut dalam hadits muttafaq
alaih, bahwa Mud’im seorang budak yang ikut serta dalam perang Khaibar
bersama Nabi saw. Setelah ia gugur karena terkena panah nyasar, para
sahabat berkomentar, “Selamat bergembira, karena ia telah mati syahid.”
Nabi saw bersabda, “Tidak demikian, demi Zat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sesungguhnya kain woll yang dikenakannya pada perang Khaibar
termasuk harta rampasan perang yang belum diserahkan. Yang dengannya
dia akan dibakar api.”
Sedangkan di akherat, tiada daging yang
tumbuh dari harta yang haram, terkecuali neraka lebih pantas bagi orang
yang melakukannya. “Wahai Ka’ab, tidaklah suatu daging yang tumbuh dari
harta yang haram, melainkan api neraka lebih layak untuknya.” Demikian
pesan Nabi kepada Ka’ab bin Ajrah dalam sunan Tirmidzi.
Saudaraku..
Bukan hanya harta yang kita dapatkan harus dari jalur yang halal saja,
tetapi penyalurannya juga harus pada jalan yang tepat dan sesuai aturan
Allah dan rasul-Nya.
Tidak kita salurkan ke tempat-tempat dosa dan maksiat serta tidak kita belanjakan secara boros dan mubazir.
Sekecil apapun kadar harta yang kita belanjakan di jalan maksiat, maka
hal itu termasuk pemborosan. Sebaliknya sebanyak apapun harta yang kita
keluarkan di jalan ketaatan, maka hal itu bukan termasuk pembaziran
harta. Itulah yang pernah diisyaratkan oleh Mujahid rahimahullah.
Saudaraku..
Berhemat, jelas berbeda maknanya dengan pelit alias bakhil. Yang
pertama identik dengan nilai positif, dan sebaliknya pelit mengandung
arti negative.
Ibnu Katsir mengomentari firman-Nya,
“(Ibadurrahman) adalah orang-orang yang apabila membelanjakan harta,
mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Dan adalah
pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian itu.” Al Furqan:
67.
“Yaitu orang-orang yang tidak membelanjakan harta dengan
mubazir melebihi kadar kebutuhan (konsumtif) dan tidak pula kikir dalam
menafkahi keluarganya (mengurangi hak-hak mereka), apalagi terlalu
membatasinya. Tapi mereka mengambil pilihan tengah. Karena sebaik-baik
perkara adalah di pertengahannya. Tidak konsumsif dan tidak pula pelit.”
Ali bin Thalib ra pernah bertutur, “Harta yang engkau keluarkan untuk
keperluanmu dan keluargamu dengan tidak boros dan kikir serta harta yang
engkau sedekahkan adalah harta yang akan menjadi bagianmu. Sedangkan
harta yang engkau infakkan karena riya’ dan sum’ah, maka itu merupakan
bagian setan.”
Ibnul Jauzi pernah berkata, “Orang yang cerdas
merancang dengan akalnya sumber ma’isyahnya di dunia. Jika ia miskin, ia
bersungguh-sungguh mengais rezki dan berupaya melepaskan diri dari
menghiba menghina diri di depan manusia serta berupaya membatasi
ketergantungan terhadap makhluk dan mencukupkan diri dengan sifat
qana’ah. Dengan demikian ia akan hidup dengan tidak tergantung kepada
manusia dan mulia (terhormat) di tengah-tengah mereka.
Jika ia kaya, hendaknya ia mengatur penyaluran hartanya agar ia tidak jatuh miskin dan merendah hiba di hadapan manusia.”
Saudaraku..
Jika kita cermat dan cerdas memelihara ketiga hal ini, insyaallah
keberkahan hidup dapat kita rasakan dan keberkahan harta yang kita punya
semakin bertambah dan tak akan pernah berkurang. Wallahu a’lam
bishawab.
Riyadh, 23 Juni 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
www.Inspirasiislami.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar