Setiap kali kami memunculkan
masalah menghadiahkan pahala untuk mayit, banyak di antara pengunjung
Rumaysho.com yang memberi komentar negatif dan tanda tidak setuju. Oleh
karena itu, kami sengaja membuat tulisan tersendiri yang ingin membahas
lebih panjang lebar masalah ini yang rujukannya tentu saja Al Qur'an dan
As Sunnah berdasarkan pemahaman generasi terbaik dari umat Islam.
Semoga Allah memudahkan kaum muslimin untuk memahami tulisan ini. Hanya
Allah yang memberi taufik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. An Najm: 39).
Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat.
Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa
manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan
untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya.
Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak
bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya.
Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal
ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang
lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]
Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi
orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang
akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di
sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus
ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi
tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa
bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang".” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini
menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh
orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah
do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun
yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a
dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang
terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan
keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat
satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat
saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).
Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang
bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan
kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan
semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan
seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya,
“Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika
diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ
دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri
mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang,
maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan
meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib
ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah.
Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”.
Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit
dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang
dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,
إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]
Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang
adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih
payah orang tua.”[9]
Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi
orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah
hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu
ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi
–sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya
menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat
dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik
anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika
orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama
untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ
إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya
kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil
manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ
سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ - رضى الله عنه - تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ
غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ
وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ
عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى
الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu
meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di
sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’
Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku
sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana
dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an,
apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang
tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala
tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam
khutbahnya,
خَيْرُ
الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap
bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ
الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti
petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati.
Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang
harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka
perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama
umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka
beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik
dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau
membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu
mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati
dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini
diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama
salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila
seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya,
guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah
ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam
dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah
pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si
mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula
terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan
pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah)
dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana
hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat
atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun,
mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang
disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama
salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al
Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin
yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum
muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang
disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap
orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu
lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]
Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala
dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh
sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan
surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu
(semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang
dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut
diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini
termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya
keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena
mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang
repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat
penjelasan selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang
mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al
Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,
إذَا
مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali
melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan,
atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan
mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan
lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan
juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar
suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca
Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga
mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah
sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada
tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si
mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah
(meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia
adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan
sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua
Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang
dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan
mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si
mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar
dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal
dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti
membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a
tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini
termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului
kita untuk melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak
pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi
Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum,
mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian
mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu.
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka
pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama
sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan
dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal
semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali
tidak melakukan ma’tam.”[16]
Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang
dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya
setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau
hingga akhir zaman.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H
[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H
[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar