4 PENYEBAB SU’UL KHATIMAH
Saudaraku..
Setiap manusia yang merentasi perjalanan hidup di dunia ini, pastilah
suatu saat akan sampai pada batas akhir kehidupannya. Ajal pasti datang
menghampirinya. Kematian ibarat tamu yang tidak pernah diundang. Ia
datang tanpa mengenal waktu, keadaan, kedudukan, profesi dan usia
seseorang. Terkadang ia datang di waktu malam, pagi, siang dan sore
hari.
Bisa jadi ia datang menghampiri seseorang ketika
popularitasnya sedang berada di puncak. Atau sebaliknya ajal menyapa
saat ia terpuruk dan terjatuh. Ia juga dapat menyapa kita di kala sehat,
sakit, bahagia dan merana.
Ajal merupakan persoalan ghaib bagi
manusia. Terkadang seseorang yang begitu disanjung dan dipuja-puja
serta digadang-gadang oleh manusia, ternyata akhir kehidupannya
sangatlah tragis dan menyayat hati. Dan tidak sedikit orang secara kasat
mata hidupnya sarat dengan kesederhanaan dan diselimuti kekurangan,
tapi penghujung hidupnya sangatlah indah dan manis.
Akhir
sebuah kehidupan merupakan penentu masa depan kita di akherat kelak.
Husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik) adalah harapan dan cita-cita
semua orang. Tetapi ia hanya merupakan khayalan dan impian belaka bila
kita tidak pernah mengukir amal-amal keta’atan dalam hidup. Tidak
membekali diri dengan iman dan mengenakan baju ketakwaan. Atau sandaran
pada Sang Maha Pencipta teramat ringkih. Lemah dalam kepribadian dan
tidak memiliki citra yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Bila kita telusuri perjalanan hidup generasi pendahulu kita (salafus
shalih), kita temukan bahwa hati mereka senantiasa dihiasai kemurnian
tauhid, keta’atan yang sempurna terhadap Rasulnya, dan ukiran amal-amal
shalih yang amat mengagumkan dan mempesona serta taburan amal dan bakti.
Tetapi yang demikian itu tidak menjadikan mereka bangga diri, apatah
lagi takabur dengan apa yang telah mereka perbuat. Bahkan hati mereka
selalu dihantui perasaan takut yang tak terperi dan kekhawatiran yang
mencekam, jika mereka tidak mampu menghadap Allah dalam keadaan husnul
khatimah.
Sufyan Atsaury rahimahullah (ulama terkemuka dari
kalangan tabi’in), di kala mengenang pedihnya siksa neraka, menyebabkan
ia pernah terkencing darah dan nanah. Ia seorang yang zuhud terhadap
dunia. Ketika ia berada di ambang kematian, ia meneteskan air mata
menangis tersedu-sedu. Terbata-bata suaranya, dari lisannya terucap,
“Aku khawatir di saat yang sangat menentukan masa depanku di akherat
seperti ini, Allah mencabut keimanan dari hatiku.”
Begutu pula
Malik Bin Dinar rahimahullah ketika melaksanakan shalat malam, ia tak
sanggup membendung air matanya hingga membasahi jenggotnya yang lebat
seraya berucap, “Duhai Rabb-ku, Engkau telah tetapkan para penghuni
surga dan neraka, maka di manakah tempat tinggalku di akherat kelak?.”
Saudaraku…
Syekh Jalaludin As Suyuti rahimahullah dalam kitabnya “Syarhus shudur”
pernah menyebutkan, ada 4 hal yang dapat menyebabkan seseorang meraih
su’ul khatimah:
• Meremehkan pelaksanaan shalat.
• Menenggak minuman keras.
• Durhaka kepada kedua orang tua.
• Mengganggu kaum muslimin.
Saudaraku..
Shalat yang ditunaikan dengan baik mempunyai bekas positif yang
memancar pada perilaku seseorang. Kwalitas shalat kita ukurannya adalah
perbuatan dosa dan maksiat menyingkir dari kehidupan kita. Allah swt
berfirman, “Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji
dan munkar.” Al Ankabut: 45.
Dunia yang menjadi panggung
sandiwara, pentas seni dan gedung theater sering membuat kita lupa dan
mengabaikan tugas-tugas kita sebagai hamba-Nya. Nyanyian, begadang,
sinetron, Indonesian Idol, film laga, suguhan lawak, acara-acara menarik
di televisi lainnya, Nobar, gaple, catur dan yang senada dengan itu,
sering melupakan kita dari zikir dan mengabaikan pelaksanaan shalat.
Padahal kematian akan datang menyapa sesuai dengan kebiasaan yang kita
lakukan.
Imam Dzahabi rahimahullah berkisah dalam kitabnya “al
kabair”, ada seorang pemuda yang biasa menghabiskan waktu-waktu luangnya
dengan catur. Ketika sakit keras ia ditalqin untuk mengucapkan laa
ilaha illallah. Tapi yang keluar dari lisannya justru ucapan “Scak”.
Ucapan itu bukan mematikan lawan main caturnya tetapi mematikan dirinya
sendiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan, ada seorang
pemuda yang suka nyanyian dan lagu-lagu yang diharamkan. Sehingga ia
mendendangkannya atau mendengarkannya di sebagian besar waktunya. Saat
ajal di ambang pintu, ia dibimbing mengucapkan kalimat tauhid, tapi yang
diucapkannya justru nyanyian yang selama ini digandrunginya ‘nana
nanana’.
Khamer disebut nabi saw sebagai “Ummul khabaits” induk atau biang keladi dari setiap keburukan atau kejahatan.
Khamer menjadi simbol semua minuman, tablet, obat membahayakan dan
cairan yang memabukkan. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin
maju, khamer tampil dalam kemasan yang lebih menarik, merek yang memikat
dan namanya pun semakin enak didengar. Seperti; ekstasi, ineks,
shabu-shabu, putaw, ganja, heroin, morfin. Di masa kecil dulu, kita baru
mengenal minuman keras semisal; anggur kuat cap orang tua, bir bintang,
anggur kuat cap kunci, tuak dan yang senada dengan itu.
Apapun
nama, merek dan kemasannya, semua yang dapat memabukkan dan
menghilangkan kesadaran disebut khamer. Dan ia akan melahirkan berbagai
macam kerusakan, dan mara bahaya. Baik bagi si pengguna maupun orang
lain. Ia akan merusak tubuh manusia dan menghancurkan masa depannya di
akherat.
Kecelakaan Xenia maut, pesawat jatuh, bus menabrak
villa, tabrakan kereta api dan lain-lain, hanya merupakan contoh kecil
dari bahaya mengkonsumsi khamer dan narkoba.
Ibnu Rajab
rahimahullah pernah menukil dari syekh Abdul Azis bin Abu Ruwad bahwa ia
pernah mentalqin seseorang pada saat sakaratul maut. Apa yang terjadi?
Yang berhembus dari lidahnya justru sebuah ucapan, “Aku ingkar terhadap
apa yang engkau ucapkan.” Walhasil, diketahui bahwa orang itu biasa
mengkonsumsi khamer. Lantas syekh Abu Ruwad berkata, “Hindarilah
dosa-dosa besar, sebab ia akan menghancurkan pelakunya.”
Sebab lain, kita terpuruk dalam su’ul khatimah adalah durhaka pada kedua orang tua.
Jika kita tadabburi ayat-ayat yang berbicara mengenai berbakti pada
orang tua, maka kita dapati bahwa ukuran berbakti itu adalah “indal
kibar” pada saat orang tua kita memasuki masa lansia; lanjut usia. Di
saat keduanya sudah tak berdaya, pikun, lemah dan seterusnya yang memang
sangat membutuhkan perawatan, perhatian, belaian kasih dan pertolongan
dari kita selaku anaknya. Perkataan ‘ah’ atau ‘cih’ merupakan potret
sebuah kedurhakaan. Apatah lagi anak yang membentak orang tuanya,
memarahinya, menatapnya dengan kasar dan lebih dari itu.
Durhaka pada orang tua memiliki korelasi yang kuat dengan proses su’ul
khatimah. Kisah sahabat Al Qamah yang masyhur, yang lebih mementingkan
istri daripada ibunya sehingga memicu kemarahan sang ibu hanya merupakan
contoh kecil dalam masalah ini.
Suatu ketika ada seorang
lelaki yang menggendong ibunya thawaf mengelilingi Ka’bah. Dan
sebelumnya ia telah menggendong ibunya itu dari Yaman. Jarak yang cukup
jauh dengan Mekkah. Ia menghampiri sahabat Abdullah bin Umar seraya
bertanya, “Wahai Ibnu Umar, apakah dengan jerih payahku ini aku telah
membalas kebaikan atau jasa-jasanya?.” Ia menjawab, “Setengahnya juga
belum. Tapi jerih payahmu yang sedikit ini akan mendapat pahala yang
berlimpah ruah.”
Bagaimana dengan kita? Terkadang berjalan
bergandengan tangan dengan ibu kita yang telah berusia lanjut, kita malu
dilihat orang lain. Karena kita merasa bahwa kesuksesan dan kejayaan
kita sama sekali tanpa ada peran dan andil darinya. Padahal ia bangun di
tengah malam, hanya untuk mendo’akan kita, yang jauh di mata tapi
selalu dekat di hatinya. Apakah kita akan sesukses seperti hari ini
tanpa do’a tulus dari orang tua kita?.
Mengganggu kaum muslimin
dan muslimat dengan hati, ucapan, perbuatan, tingkah laku dan gerak
gerik kita akan berpengaruh pula pada su’ul khatimah.
Membiarkan hati digenangi hasut, dendam, berburuk sangka dan yang senada
dengan itu merupakan warna gangguan kita terhadap mereka.
Melukai
perasaan mereka dengan ucapan, dusta, persaksian palsu, curang dalam
jual beli, fitnah, ghibah, amarah tak terbendung dan lain sebagainya
merupakan corak dari gangguan kita terhadap mereka yang dapat mengusik
kedamaian hati mereka.
Berlaku aniaya, tak adil dalam mengambil
keputusan, merendahkan mereka, mengganggu istirahat mereka dan lain
sebagainya merupakan bentuk gangguan kita berupa perbuatan dan perilaku.
“Tidak akan masuk surga orang tetangganya tidak merasa aman dari
gangguannya.” HR. Muslim.
Merasa teraniaya, terzalimi,
tersakiti dan terluka hatinya bisa mendorong seseorang mendo’akan celaka
bagi pelakunya. Do’a yang buruk menjelma dalam laknat dan kutukan serta
meraih su’ul khatimah. Na’udzbillah mindzalik.
Untuk itu Nabi saw
mewanti-wanti kita agar jangan sampai menzalimi orang lain. Karena do’a
orang yang terzalimi didengar Allah swt.
Ya Rabb, anugerahkanlah kepada kami husnul khatimah; akhir kehidupan yang baik dan indah. Amien.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
www.Inspirasiislami.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar