Waktu berjalan, peringatan maulid Nabi saw. berkembang secara resmi di kalangan pejabat, raja dan pemimpin umat Islam dengan saling memberi ucapan selamat, do’a-do’a keberkahan, bagi-bagi hadiah untuk penghafal Al Qur’an, orasi dan pidato politik.
Pertanyaannya adalah, Kapan peringatan maulid Nabi saw. bermula ?
Apakah peringatan maulid Nabi saw. di benarkan dalam Islam ?
Apa hukumnya secara syariah memperingati maulid Nabi saw. ini?
Pertanyaan-pertanyaan yang terus terulang saat ada peringatan maulid Nabi saw. setiap tahunnya. Bersamaan dengan itu, masih ada perdebatan seputar hukum memperingati maulid, meskipun Rasulullah saw. sendiri tidak pernah memperingati hari kelahirannya, begitu juga dengan para sahabat dan tabi’in yang merupakan generasi pilihan.
Tradisi Fathimiyyah
Sumber-sumber sejarah menceritakan bahwa, di Mesir ada sekelompok pendukung Fathimah putri Nabi, mereka disebut Fathimiyyin, mereka lah pertama kali yang mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Mereka mengadakan peringatan secara besar-besaran, mereka membagi-bagikan aneka makanan. Di samping memperingati kelahiran Nabi, mereka juga memperingati hari-hari kelahiran keluarga “ahlul bait” Nabi saw.
Inilah kenyataan sejarah yang menjadikan sebagian ulama fiqh menolak peringatan Nabi saw., dan memasukkan katagori bid’ah dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya. Rasulullah saw. tidak pernah memperingati hari kelahirannya sepanjang hidupnya, begitu juga para sahabat dan tabi’in.
وهو القائل صلى الله عليه وسلم: “من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد”
“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.” Artinya tidak termasuk dari ajaran Islam.Para penentang perayaan maulid juga bersandar para praktek perayaan maulid ketika masa Fathimiyyin yang lebih cenderung berlebihan dalam menyebarkan ajaran syi’ah. Tujuan dari peringatan ini, sebagaimana yang dilihat oleh ahli fiqh sekaligus da’i, Abdul Karim Al Hamdan, adalah penyebaran aqidah syi’ah dengan kedok cinta keluarga Nabi dan disertai dengan praktek-praktek yang tidak diperbolehkan hukum, seperti berlebihan di dalam menghormati pemimpin dengan cara-cara sufiestik yang sudah menjerus pada kultus individu, berdo’a kepada selain Allah, bernadzar kepada selain Allah swt. Inilah bentuk-bentuk peringatan maulid Nabi semenjak kelompok Fathimiyyin sampai sekarang, baik di Mesir atau di belahan dunia lainnya.
Mengapa Kita Tidak Memperingati?
Dalam sudut pandang yang berbeda, Dr. Muhammad ‘Alawi Al Maliki Al Husaini, seorang ahli fiqh, memandang bolehnya memperingati maulid Nabi saw. dengan diisi kegiatan yang bertujuan mendengarkan sejarah perjalanan hidup Nabi saw. dan memperdengarkan pujian-pujian terhadapnya. Ada kegiatan memberi makan, menyenangkan dan memberi kegembiraan terhadap umat Islam. Meskipun ia menekankan tidak adanya pengkhususan peringatan pada malam hari tertentu, karena itu termasuk katagori bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Riwayat dari Rasulullah saw, bahwa beliau mengagungkan hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah pada hari itu, atas nikmat diciptakan dirinya di muka bumi dengan membawa misi rahamatan lil’alalmin, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang sebab beliau berpuasa pada hari Senin dalam setiap pekan, beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, (ذلك يوم فيه ولدت). “Itu hari, saya dilahirkan.”
Terkait bahwa para sahabat dan tabi’in tidak melaksanakan maulid, Dr Al Husaini mengatakan:
“Apa yang tidak dikerjakan oleh salafus shaleh generasi awal Islam, tidak otomatis menjadi bid’ah yang tidak boleh dikerjakan. Justru perlu dikembalikan kepada persoalan aslinya, yaitu sesuatu yang membawa mashlahat secara syar’i menjadi wajib hukumnya, sebaliknya sesuatu yang menjerumuskan kepada haram, maka hukumnya haram.”
Menurut padangan Dr. Al Husaini, jika memperingati maulid Nabi membawa mashlahat secara syar’i, maka hukumnya dianjurkan, karena di dalamnya ada kegiatan dzikir, sedekah, memuji Rasul, memberi makan fakir-miskin, dan kegiatan lainnya yang diperbolehkan karena membawa manfaat.
Tergantung Kegiatan
Sebagian ulama mengingkari peringatan maulid, karena di dalamnya bercampur dengan bid’ah dan kemungkaran yang terjadi sebelum abad Sembilan Hijriyah, dengan bersandar pada hukum asli, yaitu “Menolak kerusakan lebih di dahulukan dari pada meraih mashalahat.”
Ulama ahli Fiqh dari madzhab Maliki, Tajuddin Al Fakihani juga membolehkan. Sebagian ada yang malah menganjurkan, seperti Imam Jalaluddi As Suyuthi dan Ibnu Hajar Al Asqalani, namun mereka mengingkari praktek-praktek bid’ah. Pendapat mereka ini bersandar pada firman Allah swt, {وذكرهم بأيام الله} “Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah.”
Sejumlah ulama Al Azhar, terutama Syaikh ‘Athiyyah Shaqr rahimahullah, telah berfatwa tentang dibolehkannya memperingati maulid Nabi dengan syarat.
Fatwa itu tertuang sebagai berikut:
“Rasulullah saw telah menetapkan bahwa hari di mana beliau dilahirkan memiliki keutamaan dibanding dengan hari-hari lainnya. Setiap mukmin hendaknya bersungguh-sungguh dalam meraih keagungan pahala, mengutamakan amal. Itulah alasan memperingati hari ini. Dan bersyukur kepada Allah swt atas pemberian-Nya yang sangat besar, berupa kelahiran Nabi akhir zaman yang memberi petunjuk kepada kita menuju syari’at-Nya yang membawa kelestarian. Namun dengan syarat tidak membuatkan gambar-gambarnya secara khusus. Bahkan dengan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt atas apa yang disyariatkan, mengenalkan manusia keutamaan dan keagungan pribadi Rasul, tidak keluar dari koridor syariat dan berubah menjadi hal yang diharamkan secara hukum, seperti ikhthilat atau campur baur laki-laki dan perempuan, cenderung kepada kegiatan yang tidak ada gunanya dan hura-hura, tidak menghormati baitullah, dan termasuk yang dikatagorikan bid’ah adalah tawasul terhadap kuburan, sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan bertentangan dengan adab.”
Jika yang dominan adalah kegiatan-kegiatan seperti di atas, maka yang diutamakan adalah mencegah kerusakan sebagaimana kaidah ushul:
“Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih maslahat.”
Namun jika hal-hal positif lebih dominan dan manfaat secara syar’i didapatkan, maka tidak ada larangan memperingati maulid Nabi saw. dengan tetap mengantisipasi hal-hal negatif sesuai kemampuan.” Allahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar