Editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta
Di hadapan penguasa, Hamka bicara tegas menolak upaya-upaya
Kristenisasi. Ia juga tegas melarang umat Islam mengikuti perayaan
“Natal Bersama” yang menggunakan kedok toleransi.
Suatu hari menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 1969, dua orang perwira
Angkatan Darat datang menemui Buya Hamka. Keduanya membawa pesan dari
Presiden Soeharto, agar Hamka bersedia memberikan khutbah Ied di Masjid
Baiturrahim, komplek Istana Negara, Jakarta. Hamka terkejut, karena
disamping permintaan tersebut mendadak, ia heran mengapa istana
memilihnya menjadi khatib, padahal pada waktu itu ia dikenal sebagai
ulama yang dalam setiap ceramahnya selalu tegas mengeritik upaya-upaya
Kristenisasi. Maklum, pada masa-masa awal Orde Baru, gurita Kristenisasi
mulai membangun jejaringnya. Baik di tingkat elit kekuasaan, maupun
aksi-aksi di lapangan.
Atas saran dan dukungan umat Islam, Buya
Hamka akhirnya bersedia memenuhi permintaan istana. Umat ketika itu
berharap, ulama asli Minangkabau ini bisa menyampaikan pesan-pesan
dakwah kepada para pejabat, terutama dalam menyikapi maraknya
Kristenisasi. Inilah kali pertama Hamka, seorang mantan anggota Partai
Masyumi, berkhutbah di Istana. Dari atas mimbar, ulama yang juga
sastrawan ini menguraikan tentang bagaimana toleransi dalam pandangan
Islam. Islam sangat menghargai agama lain, dan tak akan pernah
mengganggu akidah agama lain.
Di hadapan Presiden Soeharto dan
para pejabat Orde Baru, Buya Hamka menegaskan secara lantang, “Tapi
kalau ada usaha orang supaya kita berlapang dada, jangan fanatik, lalu
tukarlah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu dengan tuhan yang
maha tiga, atau berlapang dadalah dengan mengatakan bahwa Nabi kita
adalah nabi palsu dan perampok di padang pasir, atau kepercayaan kita
kepada empat kitab suci; Taurat, Zabur, dan Injil dan Al-Qur’an, lalu
disuruh berlapang dada dengan mendustakan Al-Qur’an, maaf, seribu kali
maaf, dalam hal ini kita tidak ada toleransi!” tegasnya.
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka juga menyampaikan bahaya
Kristenisasi ia sampaikan di mimbar-mimbar dakwah dan media massa.
Melalui Majalah Panji Masyarakat, Buya Hamka membahas bahaya
Kristenisasi, modernisasi dan sekularisasi. Dalam rubrik “Dari Hati ke
Hati” yang dikelolanya, Buya Hamka juga menjelaskan soal prinsip
toleransi dalam Islam.
Dalam setiap kesempatan khutbah, Buya
Hamka yang prihatin dengan gurita kristenisasi yang sedang menggeliat
ketika itu, bersuara lantang di hadapan umat agar mewaspadai sepak
terjang kelompok Kristen yang berusaha memurtadkan kaum Muslimin.
“Modernisasi bukan berarti westernisasi, dan bukan pula Kristenisasi,”
demikian ketegasan yang sering diulang-ulang oleh Hamka ketika ditanya
para wartawan. Dalam setiap khutbah di Masjid Al-Azhar, Jakarta, Hamka
juga menegaskan bahwa misi zending Kristen yang sedang bergeliat pada
masa itu telah dirasuki dendam Perang Salib untuk menghabisi umat Islam.
“Kristen lebih berbahaya dari Komunis,” ujar Hamka.
Ketegasan
Buya Hamka terhadap bahaya Kristenisasi kembali ia sampaikan di hadapan
penguasa Orde Baru, ketika Buya menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Dalam rapat dengan Presiden Soeharto pada 1975, Buya
Hamka menerangkan di hadapan Presiden tentang fakta-fakta Kristenisasi
yang bergeliat setiap hari di masyarakat, dengan berbagai bujukan dan
iming-iming materi yang menggiurkan. Hamka juga menyampaikan
keprihatinannya tentang berdirinya Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi,
sebagai upaya terang-terangan dalam mengkristenkan masyarakat minang
lewat cara pengobatan. Kepada Presiden Soeharto, Hamka mengusulkan agar
rumah sakit itu dibeli dan diambil alih pemerintah agar bisa dikelola
dengan semestinya. Soeharto setuju dengan usulan tersebut, bahkan dengan
terang-terangan menyatakan tidak sukanya pada Kristenisasi tersebut.
Sikap tegas Buya Hamka yang melegenda adalah ketika ia mengeluarkan
fatwa haram perayaan natal bersama. Pada saat itu di lingkungan birokrat
yang sudah dikuasai jejaring Kristen memang digagas acara “Natal
Bersama”. Buya sebagai Ketua MUI merasa perlu memberikan fatwa agar umat
Islam tidak terjebak menggadaikan akidah hanya semata-mata takut
dibilang tidak toleran. Saat berkhutbah di Masjid Al-Azhar, Buya Hamka
mengingatkan kaum Muslimin, bahwa kafir hukumnya jika mereka mengikuti
perayaan natal bersama. “Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang
memperingati hari lahir anak Tuhan. Itu adalah akidah mereka. Kalau ada
orang Islam yang turut menghadirinya, berarti dia melakukan perbuatan
yang tergolong musyrik,” terang Hamka. “Ingat dan katakan pada kawan
yang tak hadir di sini, itulah akidah kita!” tegasnya di hadapan massa
kaum Muslimin.
Keteguhannya dalam memegang fatwa haramnya natal
bersama inilah yang kemudian membuatnya mengundurkan diri dari Ketua
Majelis Ulama Indonesia. Tak berapa lama setelah fatwa itu dikeluarkan,
pada 24 Juli 1981, Buya Hamka wafat menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allahyarham Mohammad Natsir, teman karib seperjuangan yang menyaksikan
detik-detik wafatnya Buya Hamka kemudian memanjatkan doa tulus bagi
seorang pejuang dan pengawal akidah umat.
sumber : ISLAMPOS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar