Sudah Mengaku Bersyukur?
Bersyukurlah
kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(QS. Luqman: 12)
Pria itu berjalan petantang-petenteng. Gaya
parlente, baju mewah, langkah congkak, harta berlimpah, budak dan
dayang-dayang dengan setia mendampingi di belakangnya. Hampir semua
orang takjub padanya sembari berkata, “Semoga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”
Ya, Qarun nama pria
penikmat dunia itu. Perlambang kesohoran dan kemegahan di zamannya.
Bayangkan, kunci-kunci hartanya tidak dibawa dengan dimasukkan kantong
seperti sekarang, tapi kunci itu bahkan sampai dipikul oleh orang-orang
yang kuat. Kuncinya saja sudah sebesar itu, bagaimana dengan gudang
hartanya?
Pesaing Fir’aun dan Haman dalam hal keduniaan ini
dengan sombongnya memamerkan apa yang ia ‘miliki’ kepada kaumnya.
Melihat adegan itu, berkatalah kaumnya, “Janganlah kamu terlalu bangga,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan
diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Tak tahan dinasihati
seperti itu, kupingnya panas. Ia memuntahkan perkataan yang menjadi
trademark adalam kisah ini, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu,
karena ilmu yang ada padaku”. Pernyataan sombong, menginkari adanya
‘tangan lain’ dalam kesuksesannya. Bahkan Rabb dan rasa syukur seakan
telah ia lupakan.
Tak menunggu lama, adzab itu rupanya turun juga.
Qarun beserta hartanya habis tertelan bumi, menyisakan jejak kemegahan
yang menyesakkan. Maka berkatalah orang-orang yang kemarin memimpikan
kedudukan Qarun, “Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa
yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya. Kalau Allah
tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah
membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang
yang mengingkari (nikmat Allah)”
Cerita di atas telah Allah
kisahkan dalam Al-Qur’an surah Al-Qashash ayat 76-82. Allah abadikan
kisah ini untuk dijadikan pelajaran bagi manusia. Bagaimana seorang
hamba yang telah Allah beri nikmat padanya namun ia menginkari bahkan
tidak bersyukur kepada Rabbnya, ia lupa bahwa apa yang ada di tangannya
ialah milik Allah, ia tidak mengetahui dari siapa rizki itu sebenarnya.
Maka apa yang terjadi?
...dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim: 7)
Lalu, apa yang harus kita perbuat dengan nikmat Allah? Tentu saja
dengan mensyukurinya. Karena sesungguhnya Allah telah berjanji,
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu... (QS. Ibrahim: 7)
Syukur, Sebuah Totalitas Ibadah
Aisyah pernah bersaksi berkata bahwa suaminya tercinta, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, biasa shalat malam hingga bengkak kedua
kakinya.
Ketika di suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bangun untuk shalat malam hingga kaki beliau bengkak karenanya,
dikatakan kepada beliau, “Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan
yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?”
Apa jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dipertanyakan mengenai ‘keras’nya ibadah beliau? beliau menjawab,
Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?
(HR. Bukhari, Kitab Tahajud Bab 6 no. 587)
Sebuah bukti bahwa syukur bukanlah diwujudkan hanya dengan mengucapkan
hamdalah semata, bukan hanya sujud syukur saja, tetapi syukur adalah
bagaimana kita beribadah kepada Allah secara optimal dengan apa yang
telah Allah berikan kepada kita.
Kita sering mengaku bersyukur bila
diberikan sesuatu kita spontan mengucapkan ‘Alhamdulillah’, kita sering
mengaku telah bersyukur bila mendapatkan sesuatu lalu kita langsung
jatuh bersujud di hadapanNya, kita mengaku bersyukur ketika mendapatkan
nikmat lalu kita menangis terharu sambil menyebut namaNya.
Lalu, setelah itu? Hanya itukah yang kita sebut syukur?
Apakah setelah itu kita tidak lagi menyebut namaNya, mengagungkan
asmaNya, memakmurkan masjidNya, membaca kitabNya, menjalankan apa yang
diperintahkanNya, dan menjauhi laranganNya?
Apa kita bersyukur tanpa adanya perubahan dalam diri kita?
Ikhwah fillah, syukur yang hanya sekadar hamdalah saja maka itu
bukanlah syukur yang sebenarnya. Lihatlah bagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang kakinya bengkak karena shalat malam.
Meski beliau telah dijamin masuk surga dan dibebaskan dari dosa serta
api neraka maka apakah Nabi kemudian hanya duduk berleha-leha? Tidak.
Justru Nabi menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya bersyukur,
yaitu dengan meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah kepada Allah.
Sungguh, begitu banyak nikmat Allah yang telah luput kita ingat dan
kita lewati begitu saja tanpa ada proses bersyukur di dalamnya. Pantas
kalau Allah terus mengulang-ulang firmanNya,
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
(QS. Ar-Rahman: 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47)
Ingatlah, betapa banyak nikmat Allah kepada anda. Mulai dari nikmat
iman, sehat, harta, keamanan, perut yang kenyang dan tidak kepayahan.
Tapi pernahkah dalam kondisi yang nyaman itu anda mengingat Allah?
Pernahkah anda menggunakan seluruh nikmat itu untuk beribadah padaNya?
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.
(QS. Ali Imran: 190-191)
Atau justru segala
kenikmatan itu telah membuat kita lalai? Apakah dengan suasana yang
nyaman itu telah membuat shalat kita tidak lagi khusyuk? Apakah fisik
yang sempurna itu telah membuat anda berbangga, apakah dengan harta yang
berlimpah itu anda berlaku sia-sia? Ke mana selama ini anda gunakan
kaki anda untuk melangkah? Kaki yang sempurna itu jangan-jangan hanya
sampai ke tempat maksiat. Untuk apa selama ini anda gunakan tangan yang
bagus untuk bekerja? Jangan-jangan hanya untuk membangkitkan kemarahan
Rabb alam semesta. Ke mana selama ini mata yang tanpa cacat ini anda
gunakan? Jangan-jangan hanya untuk melihat yang tidak-tidak. Ke mana
selama ini lisan yang sehat ini kita gunakan? Jangan-jangan hanya untuk
menggunjing semata.
Ikhwah fillah, kali ini sudah saatnya kita
benar-benar bersyukur dengan berbagai karuniaNya, jangan lagi kita lupa
bahwa kita tiada apa-apanya jika bila dibandingkan Allah, dan kita bukan
apa-apa jika bukan karena nikmat dan karuniaNya.
Sesungguhnya
Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu
di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS.
Al-A’raaf: 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar