Selasa, 26 Maret 2013

5 INDIKATOR KEBAHAGIAAN KITA

Semua orang mendamba kebahagiaan hidup. Apapun jabatan yang disandangnya. Apapun profesi yang digelutinya. Apapun status sosialnya dan levelnya. Berapa usia dan jenis kelaminnya. Dan seterusnya.

Namun terkadang kebahagiaan itu semakin dikejar, justru semakin menjauh dari kehidupan kita. Karena kebahagiaan bathin tak bisa dibeli dengan harta dunia, intan permata, emas dan mutiara. Dan bahkan tak mungkin ditukar dengan seluruh kekayaan seisi perut bumi ini.

Tiada garansi, orang yang bergaji 20 ribu dolar atau 30 ribu real, lebih bahagia daripada mereka yang bergaji 200 dolar atau 600 real perbulan. Tiada jaminan, orang yang memiliki jabatan bergengsi, lebih bahagia daripada orang yang menggarap lahan sawah ladang milik orang lain. Dan jangan pernah kita mengira bahwa orang yang bekerja sebagai buruh bangunan dan yang seirama dengan itu, tiada pernah mengecap kebahagiaan?.

Fakta berbicara, tidak sedikit pejabat yang stres saat masa jabatannya hampir berakhir. Banyak orang kaya raya yang linglung, karena memiliki anak keturunan yang selalu menghitamkan wajah orang tua. Dan mungkin ada pengusaha sukses yang terpaksa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri lantaran istri pujaan hatinya selingkuh dengan mantan pacarnya. Dan seterusnya.

Kebahagiaan itu erat hubungannya dengan hati kita. Ia sangat dekat dengan iman yang subur. Hati yang bersyukur. Lisan yang selalu basah dengan zikir. Mata dan akal yang bertafakkur.

Apakah kita termasuk orang yang telah berbahagia di dunia ini? Bisa iya bisa juga tidak. Apa indikator kebahagiaan kita?. Mari kita cerna parameter kebahagiaan hidup menurut menantu Rasulullah saw; yaitu Ali bin Abi Thalib ra.

Saudaraku..
Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata, “Indikator kebahagiaan seseorang ada 5 perkara:

• An takuna zaujatuhu muwafiqah (memiliki pendamping hidup yang taat).

• Auladuhu abraran (mempunyai anak-anak yang berbakti).

• Ikhwanuhu atqiya’ (dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa).

• Jiranuhu shalihin (hidup di tengah tetangga-tetangga yang shalih).

• Wa rizquhu fii baladihi (memiliki sumber penghasilan tetap di negeri sendiri).
(mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad Al Syami).

Saudaraku..
Kita selaku suami, model apapun, hati kita teramat mekar dan berbunga-bunga jika memiliki bidadari yang taat kepada Allah, rasulnya dan mentaati kita. Seolah-olah surga dunia telah menjadi milik kita. Walaupun kita hidup di tempat yang sepi dari keramaian. Meskipun kita tinggal di rumah gubuk yang reot. Walaupun kita hanya memiliki kendaraan sepeda model 70-an.

Istri yang taat, akan setia menemani kita apapun cuaca buruk di luar sana; mendung, berawan, gelap, bersalju, terik, hujan, petir, angin kencang dan bahkan gempa dan tsunami sekalipun.

Ia tetap setia walaupun kemiskinan mendera kita. Sakit menggelayut di badan kita. Kegagalan sering menyapa kita. Dan walaupun kita harus hidup di lubang buaya sekalipun.

Kehadirannya di sisi, membantu kita taat kepada Allah. Membuat kita qana’ah dengan pemberian-Nya. Tetap tenang menyisiri hari-hari kita. Walaupun gelombang hebat menerpa. Gempa menerjang. Dan topan menghantam rumah tangga kita.

Itulah istri shalihah, yang merupakan perhiasan dunia terindah yang kita punya. “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah.” H.R; Muslim dan Nasa’i.

Saudaraku..
Anak keturunan bisa mengangkat atau menjatuhkan martabat orang tua di dunia dan akherat.

Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan orang tua jika memiliki anak-anak yang shalih, berprestasi di sekolah, dikenal kebaikannya di tempat kerja dan masyarakat, memiliki hafalan al Qur’an dan hadits yang tidak sedikit. Bukankah nama orang tua juga menjadi harum?. Walaupun orang tuanya, adalah orang biasa.

Sebaliknya, nama baik orang tua menjadi tercoreng, jika memiliki anak-anak yang buruk perangainya, ringkih kepribadiannya, lemah prestasinya di sekolah dan seterusnya. Orang tua akan tersiksa karenanya. Meskipun orang tua memiliki kedudukan dan tempat yang luas di masyarakatnya.

Maka biasanya kita selaku orang tua, akan mengeluarkan biaya seberapapun besarnya untuk membiayai pendidikan anak-anak kita, selama ada jaminan mereka menjadi shalih, berbakti, berprestasi dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat.

Anak-anak yang shalih dan berbakti, merupakan investasi terbesar milik kita. Untuk dunia dan akherat kita.

Saudaraku..
Hidup dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa, merupakan harapan kita insan beriman. Yang akan memperindah dan mencerahkan langit-langit hati kita. Karena mereka akan selalu menularkan warna ketakwaannya kepada kita. Tulus dan ikhlas dalam bersahabat, tak pernah mengharap pamrih dari kebaikannya.

Kehadiran mereka dalam hidup, membuat kita bangkit dari keterpurukan. Merasa kaya dalam kekurangan. Merasa sehat walau sakit mendera tubuh. Mampu tersenyum dalam keperihan kita. Rela dalam menjalani hidup. Semangat dalam berjuang. Dan kuat dalam kepribadian.

Saudaraku..
Hidup di tengah-tengah tetangga yang tidak berbudi pekerti mulia, seperti menggenggam bara api. Kesejukan dan kedamaian hidup sirna. Jiwa resah dan hati diselimuti kecemasan.

Jika kita memiliki kekayaan, jabatan, kekuatan dan senada dengan itu. Mereka akan merongrong kita. Sebaliknya jika kita lemah, miskin dan tak mampu, maka kita akan dilindas, ditindas dan direndahkannya.

Wajar, jika Nabi saw mengelompokan orang yang sering menagganggu tetangganya sebagai orang yang tiada memiliki keimanan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, makan janganlah ia mengganggu tetangganya.” H.R; Bukhari.

Saudaraku..
Sungguh indah, jika kita memiliki income tetap di negeri sendiri tak perlu merantau ke tempat lain apalagi ke luar negeri. Tiada kebahagiaan yang lebih besar kita rasakan daripada berkumpul bersama anak dan istri kita serta kita mampu menafkahi keluarga dari sumber rezki yang halal dan tahyyib.

Banyak kasus yang membukakan mata kita bahwa berjauhan dengan keluarga dengan alasan mengais rezki dan memahat masa depan keluarga, ternyata resikonya tidak ringan. Sering terjadi kesalahpahaman antar pasutri. Anak-anak yang merasa tidak mendapat curahan kasih sayang dari orang tua. Pengawasan terhadap anak-anak menjadi lemah. Pendidikan anak-anak kurang mendapat perhatian yang cukup dan seterusnya.

Terlebih kebutuhan asasi pasutri, yakni nafkah bathin menjadi tersendat. Padahal kepuasan pasutri di tempat tidur merupakan separoh dari kunci keharmonisan rumah tangga. Hal ini yang terkadang memicu suami mengambil teman tapi mesra dan istri memiliki PIL, pria idaman lain. Na’udzu billah min zalik. Terlebih ketika pasutri tak merawat dengan baik iman yang ada dalam hatinya.

Maka, berpenghasilan yang halal dan thayyib di negeri sendiri. Berkumpul dengan keluarga, sanak saudara dan kerabat membuat hidup kita terasa berpelangi. Kenyamanan dan keamanan bathin membuncah memenuhi ruang hati kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar