5 INDIKATOR KEBAHAGIAAN KITA
Semua
orang mendamba kebahagiaan hidup. Apapun jabatan yang disandangnya.
Apapun profesi yang digelutinya. Apapun status sosialnya dan levelnya.
Berapa usia dan jenis kelaminnya. Dan seterusnya.
Namun
terkadang kebahagiaan itu semakin dikejar, justru semakin menjauh dari
kehidupan kita. Karena kebahagiaan bathin tak bisa dibeli dengan harta
dunia, intan permata, emas dan mutiara. Dan bahkan tak mungkin ditukar
dengan seluruh kekayaan seisi perut bumi ini.
Tiada garansi,
orang yang bergaji 20 ribu dolar atau 30 ribu real, lebih bahagia
daripada mereka yang bergaji 200 dolar atau 600 real perbulan. Tiada
jaminan, orang yang memiliki jabatan bergengsi, lebih bahagia daripada
orang yang menggarap lahan sawah ladang milik orang lain. Dan jangan
pernah kita mengira bahwa orang yang bekerja sebagai buruh bangunan dan
yang seirama dengan itu, tiada pernah mengecap kebahagiaan?.
Fakta berbicara, tidak sedikit pejabat yang stres saat masa jabatannya
hampir berakhir. Banyak orang kaya raya yang linglung, karena memiliki
anak keturunan yang selalu menghitamkan wajah orang tua. Dan mungkin ada
pengusaha sukses yang terpaksa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri
lantaran istri pujaan hatinya selingkuh dengan mantan pacarnya. Dan
seterusnya.
Kebahagiaan itu erat hubungannya dengan hati kita.
Ia sangat dekat dengan iman yang subur. Hati yang bersyukur. Lisan yang
selalu basah dengan zikir. Mata dan akal yang bertafakkur.
Apakah kita termasuk orang yang telah berbahagia di dunia ini? Bisa iya
bisa juga tidak. Apa indikator kebahagiaan kita?. Mari kita cerna
parameter kebahagiaan hidup menurut menantu Rasulullah saw; yaitu Ali
bin Abi Thalib ra.
Saudaraku..
Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata, “Indikator kebahagiaan seseorang ada 5 perkara:
• An takuna zaujatuhu muwafiqah (memiliki pendamping hidup yang taat).
• Auladuhu abraran (mempunyai anak-anak yang berbakti).
• Ikhwanuhu atqiya’ (dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa).
• Jiranuhu shalihin (hidup di tengah tetangga-tetangga yang shalih).
• Wa rizquhu fii baladihi (memiliki sumber penghasilan tetap di negeri sendiri).
(mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad Al Syami).
Saudaraku..
Kita selaku suami, model apapun, hati kita teramat mekar dan
berbunga-bunga jika memiliki bidadari yang taat kepada Allah, rasulnya
dan mentaati kita. Seolah-olah surga dunia telah menjadi milik kita.
Walaupun kita hidup di tempat yang sepi dari keramaian. Meskipun kita
tinggal di rumah gubuk yang reot. Walaupun kita hanya memiliki kendaraan
sepeda model 70-an.
Istri yang taat, akan setia menemani kita
apapun cuaca buruk di luar sana; mendung, berawan, gelap, bersalju,
terik, hujan, petir, angin kencang dan bahkan gempa dan tsunami
sekalipun.
Ia tetap setia walaupun kemiskinan mendera kita.
Sakit menggelayut di badan kita. Kegagalan sering menyapa kita. Dan
walaupun kita harus hidup di lubang buaya sekalipun.
Kehadirannya di sisi, membantu kita taat kepada Allah. Membuat kita
qana’ah dengan pemberian-Nya. Tetap tenang menyisiri hari-hari kita.
Walaupun gelombang hebat menerpa. Gempa menerjang. Dan topan menghantam
rumah tangga kita.
Itulah istri shalihah, yang merupakan
perhiasan dunia terindah yang kita punya. “Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita (istri) yang shalihah.”
H.R; Muslim dan Nasa’i.
Saudaraku..
Anak keturunan bisa mengangkat atau menjatuhkan martabat orang tua di dunia dan akherat.
Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan orang tua jika memiliki anak-anak
yang shalih, berprestasi di sekolah, dikenal kebaikannya di tempat kerja
dan masyarakat, memiliki hafalan al Qur’an dan hadits yang tidak
sedikit. Bukankah nama orang tua juga menjadi harum?. Walaupun orang
tuanya, adalah orang biasa.
Sebaliknya, nama baik orang tua
menjadi tercoreng, jika memiliki anak-anak yang buruk perangainya,
ringkih kepribadiannya, lemah prestasinya di sekolah dan seterusnya.
Orang tua akan tersiksa karenanya. Meskipun orang tua memiliki kedudukan
dan tempat yang luas di masyarakatnya.
Maka biasanya kita
selaku orang tua, akan mengeluarkan biaya seberapapun besarnya untuk
membiayai pendidikan anak-anak kita, selama ada jaminan mereka menjadi
shalih, berbakti, berprestasi dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat.
Anak-anak yang shalih dan berbakti, merupakan investasi terbesar milik kita. Untuk dunia dan akherat kita.
Saudaraku..
Hidup dikelilingi sahabat-sahabat yang bertakwa, merupakan harapan kita
insan beriman. Yang akan memperindah dan mencerahkan langit-langit hati
kita. Karena mereka akan selalu menularkan warna ketakwaannya kepada
kita. Tulus dan ikhlas dalam bersahabat, tak pernah mengharap pamrih
dari kebaikannya.
Kehadiran mereka dalam hidup, membuat kita
bangkit dari keterpurukan. Merasa kaya dalam kekurangan. Merasa sehat
walau sakit mendera tubuh. Mampu tersenyum dalam keperihan kita. Rela
dalam menjalani hidup. Semangat dalam berjuang. Dan kuat dalam
kepribadian.
Saudaraku..
Hidup di tengah-tengah tetangga
yang tidak berbudi pekerti mulia, seperti menggenggam bara api.
Kesejukan dan kedamaian hidup sirna. Jiwa resah dan hati diselimuti
kecemasan.
Jika kita memiliki kekayaan, jabatan, kekuatan dan
senada dengan itu. Mereka akan merongrong kita. Sebaliknya jika kita
lemah, miskin dan tak mampu, maka kita akan dilindas, ditindas dan
direndahkannya.
Wajar, jika Nabi saw mengelompokan orang yang
sering menagganggu tetangganya sebagai orang yang tiada memiliki
keimanan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, makan
janganlah ia mengganggu tetangganya.” H.R; Bukhari.
Saudaraku..
Sungguh indah, jika kita memiliki income tetap di negeri sendiri tak
perlu merantau ke tempat lain apalagi ke luar negeri. Tiada kebahagiaan
yang lebih besar kita rasakan daripada berkumpul bersama anak dan istri
kita serta kita mampu menafkahi keluarga dari sumber rezki yang halal
dan tahyyib.
Banyak kasus yang membukakan mata kita bahwa
berjauhan dengan keluarga dengan alasan mengais rezki dan memahat masa
depan keluarga, ternyata resikonya tidak ringan. Sering terjadi
kesalahpahaman antar pasutri. Anak-anak yang merasa tidak mendapat
curahan kasih sayang dari orang tua. Pengawasan terhadap anak-anak
menjadi lemah. Pendidikan anak-anak kurang mendapat perhatian yang cukup
dan seterusnya.
Terlebih kebutuhan asasi pasutri, yakni nafkah
bathin menjadi tersendat. Padahal kepuasan pasutri di tempat tidur
merupakan separoh dari kunci keharmonisan rumah tangga. Hal ini yang
terkadang memicu suami mengambil teman tapi mesra dan istri memiliki
PIL, pria idaman lain. Na’udzu billah min zalik. Terlebih ketika pasutri
tak merawat dengan baik iman yang ada dalam hatinya.
Maka,
berpenghasilan yang halal dan thayyib di negeri sendiri. Berkumpul
dengan keluarga, sanak saudara dan kerabat membuat hidup kita terasa
berpelangi. Kenyamanan dan keamanan bathin membuncah memenuhi ruang hati
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar