Tawassul berarti
mengambil perantara untuk tersampainya hajat. Tidak semua tawassul
dinilai keliru, namun ada pula yang masyru' (dibenarkan). Bagaimana
bentuk tawassul yang terlarang dan yang dibenarkan?
Tawassul itu ada dua bentuk yang disepakati oleh para ulama, sedangkan bentuk tawassul ketiga tidak ada dalilnya. Rinciannya:
1- Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2- Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al Khottob kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khottob-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya. Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib. Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.
Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya. Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadits dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.
(Diringkas dari Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, hal. 85-86)
1- Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2- Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup. Bentuk ini seperti perkataan ‘Umar bin Al Khottob kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,
اللَّهُمَّ
إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا
نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat
perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami
bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka
turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari no. 1010).Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khottob-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya. Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib. Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.
Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya. Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadits dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.
(Diringkas dari Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, hal. 85-86)
ARtikel yang mantab
BalasHapusmoga bermanfaat ...amien