Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat
dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam
urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi
pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya. (QS Ali Imran: 161)
Ghulul secara bahasa adalah “akhdzu syai
wa dassuhu fi mata’ihi” (mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam
hartanya). Pada mulanya ghulul adalah istilah untuk penggelapan harta
rampasan perang sebelum dibagikan kepada yang berhak (lihat Mu’jam Lughat Al Fuqaha,
hal.334). Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani mengartikannya
dengan al khiyanat fil maghnam (pengkhianatan pada rampasan perang).
Lebih jauh, Ibnu Qutaybah menjelaskan bahwa perbuatan khianat dikatakan
ghulul karena orang yang mengambilnya menyembunyikannya pada harta
miliknya (lihat Syarh Al Zarqani ‘ala Muwattha’ Imam Malik,
vol.3/37). Asal kata ghulul, menurut Al Rummani, dari kata ghalal yang
artinya masuknya air ke dalam sela-sela pohon, khianat disebut ghulul
karena masuk harta yang bukan miliknya secara tersembunyi dan samar dari
jalan yang tidak halal. (lihat Tafsir Al Manar, vol.4/175)
Ibnu Abbas, Mujahid, Hasan Al Basri dan
lain-lain memaknai ghulul adalah pengkhianatan. Ayat ini adalah
penegasan dari Allah yang membersihkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dari segala tuduhan khianat dalam menunaikan hak, amanah dan
pembagian rampasan perang dan lain-lain (lihat Tafsir Ibnu Katsir
vol.1/576). Setiap individu muslim, wabil khusus para pemimpin dan
pejabat publik harus mencontoh akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menegakkan system
pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa
istilah rujukan mengenai korupsi. Di dalam ayat yang kita bahas ini QS
3:161, korupsi disebut ghulul. Secara harfiah, ghulul berarti
pengkhianatan terhadap amanah. Karena inti korupsi adalah penyalahgunaan
kepercayaan untuk kepentingan pribadi, atau pencurian melalui penipuan
dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Selain itu dalam Al Qur’an
korupsi disebut dengan kata As Suht (QS Al Maidah: 42, 62, 63). As Suht
didefinisikan oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Abdullah
ibn Mas’ud ra (w.32 H) sebagai ‘menjadi perantara dengan menerima
imbalan antara seseorang dengan pihak penguasa untuk suatu kepentingan’ (Ahkam Al Qur’an
Al Jasshash, vol.4/84). Khalifah Umar ibn Al Khattab ra (w.24 H)
mengemukakan As Suht adalah ‘bahwa seseorang yang memiliki pengaruh di
lingkungan sumber kekuasaan menjadi perantara dengan menerima imbalan
bagi orang lain yang mempunyai kepentingan sehingga si penguasa
meluluskan keperluan orang itu’ (Ibid., vol.4/85).
Dalam hadis-hadis Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga sangat banyak rujukan mengenai korupsi, baik
menyangkut jenis-jenis korupsi seperti risywah (penyuapan), penerimaan
hadiah oleh para pejabat, penggelapan dan lain-lain, maupun menyangkut
kebijakan dan strategi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
memberantas korupsi.
Mengomentari hadis larangan menerima hadiah bagi pejabat, Imam Asy Syafi’i (w.204 H) dalam kitab Al Umm
(vol.2/63) menulis, “Apabila seorang warga memberikan hadiah kepada
pejabat, maka jika hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh –melalui
pejabat itu- suatu hak atau yang batil, maka haram atas pejabat itu
menerima hadiahnya. Itu karena haram atasnya mempercepat pengambilan hak
yang belum waktunya untuk kepentingan orang yang ia menangani urusannya
(dengan terima imbalan) karena Allah mewajibkannya mengurus hak
tersebut, dan haram pula atasnya mengambilkan suatu yang batil untuk
orang itu dan imbalan atas pengambilan suatu yang batil itu lebih haram
lagi. Demikian pula haram atasnya jika ia menerima hadiah itu agar ia
menghindarkan pemberi hadiah dari sesuatu yang tidak disukai. Adapun
jika ia dengan menerima hadiah itu bermaksud menghindarkan pemberi
hadiah dari suatu kewajiban yang harus ditunaikannya, maka haram atas
pejabat itu menghindarkan si pemberi hadiah dari kewajiban yang harus
dilakukannya”.
Fatwa Asy Syafi’i itu gamblang
mengharamkan segala bentuk hadiah (gratifikasi) atas pejabat dengan
motif-motif berikut, a) si pemberi mendapatkan haknya lebih cepat dari
waktunya yang semestinya, b) si pemberi memperoleh suatu yang batil
seperti kasusnya dimenangkan atau dibebaskan dari tuntutan hukum padahal
bukti menunjukkan sebaliknya, c) si pemberi dibebaskan dari sebagian
kewajiban yang harus ia tunaikan seperti pajak yang nilainya dikecilkan
dari aslinya, d) pemerasan di mana si pemberi dipaksa menyuap guna
mencegah kerugian yang akan mengancam diri dan kepentingannya.
Termasuk korupsi adalah segala tindakan
penggunaan uang pelicin oleh seseorang, meski secara ril tidak merugikan
keuangan Negara dan rakyat, akan tetapi tindakan itu mengakibatkan
lumpuhnya penegakan hukum. Di antara ulama yang keras mengharamkannya
adalah Ibnu Taymiah. Beliau kemukakan hal ini dengan landasan hadis yang
melaporkan kisah anak muda yang bekerja pada sebuah keluarga dan
berselingkuh dengan istri majikannya. Untuk menghindari pengaduan sang
majikan dan penerapan sanksi terhadapnya, ayah anak muda itu
menghadiahkan 100 ekor kambing dan seorang pelayan sebagai ‘uang damai’
atas kelakuan anaknya. Perkara itu sampai juga kepada Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau perintahkan agar harta itu
dikembalikan dan para pihak yang berselingkuh dihukum sesuai aturan yang
berlaku. (Majmu’ Al Fatawa, vol.27/202-203).
Pemberantasan Korupsi Ala Rasulullah
Beberapa strategi yang dilakukan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menangani korupsi adalah melakukan
pemeriksaan terhadap para pejabat seusai menjalankan tugas. Selain itu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupaya menimbulkan efek
kejiwaan yang dahsyat sehingga masyarakat menghindari korupsi. Hal ini
dilakukan, misalnya, dengan penolakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
untuk menyalatkan jenazah koruptor (cukup disalatkan oleh sahabatnya
saja, lihat hadis riwayat an-Nasa’i, ‘Salatkanlah teman kalian itu –aku
sendiri tidak mau menyalatkannya karena dia telah lakukan ghulul saat
berjuang di jalan Allah, ketika kami periksa barang-barangnya, kami
temukan manik-manik orang yahudi yang harganya tidak sampai 2 dirham’,
Kitab Al Janaiz, no.1933).
Beliau menyatakan koruptor akan masuk
neraka meski nominalnya kecil (riwayat Sahih Muslim no.182 dan 114,
“Saat perang Khaibar seorang diduga syahid tetapi Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengatakan orang itu masuk neraka karena
menyembunyikan selimut atau mantel sebelum ghanimah dibagikan, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam suruh Umar umumkan bahwa tidaklah masuk
surga kecuali orang-orang yang beriman”). Selain itu, di akhirat kelak
para koruptor akan sangat dihinakan, dipermalukan di hadapan Allah
dengan saksi barang-barang yang ia korupsi di dunia (HR Abu Humaid As
Sa’idi dalam Sahih Bukhari no.6145). Pelaku suap, penerimanya dan
kurirnya akan mendapat laknat Allah (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tegaskan bahwa sedekah atau infak dari
hasil korupsi tidak diterima Allah (Shahih Muslim, Kitab Thaharah :
114). Juga doa koruptor tak akan dikabulkan oleh Allah (Sahih Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
juga memperingatkan agar koruptor tidak dilindungi, disembunyikan atau
ditutupi kejahatannya. Barang siapa melakukan demikian, maka ia sama
dengan pelaku korupsi itu sendiri. Dari Samurah bin Jundub ra, ia
berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, siapa yang
menyembunyikan koruptor, maka ia sama dengannya. (HR Abu Dawud no. 2716
Kitab Al Jihad Bab Nahyu ‘an Satr ‘ala Man Ghalla, dan Al Thabrani dalam
Al Mu’jam Al Kabir no.7023).
Adapun hukuman untuk koruptor adalah
Ta’zir, dari yang paling ringan dengan kurungan penjara, lalu memecatnya
dari jabatan dan memasukkannya dalam daftar orang tercela (tasyhir),
penyitaan harta untuk Negara, hingga hukuman mati, sesuai besar kecilnya
jumlah yang dikorupsi dan dampaknya bagi masyarakat. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar