Selasa, 19 Februari 2013

Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Islam

Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS Ali Imran: 161)
Ghulul secara bahasa adalah “akhdzu syai wa dassuhu fi mata’ihi” (mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya). Pada mulanya ghulul adalah istilah untuk penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan kepada yang berhak (lihat Mu’jam Lughat Al Fuqaha, hal.334). Oleh karena itu, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani mengartikannya dengan al khiyanat fil maghnam (pengkhianatan pada rampasan perang). Lebih jauh, Ibnu Qutaybah menjelaskan bahwa perbuatan khianat dikatakan ghulul karena orang yang mengambilnya menyembunyikannya pada harta miliknya (lihat Syarh Al Zarqani ‘ala Muwattha’ Imam Malik, vol.3/37). Asal kata ghulul, menurut Al Rummani, dari kata ghalal yang artinya masuknya air ke dalam sela-sela pohon, khianat disebut ghulul karena masuk harta yang bukan miliknya secara tersembunyi dan samar dari jalan yang tidak halal. (lihat Tafsir Al Manar, vol.4/175)
Ibnu Abbas, Mujahid, Hasan Al Basri dan lain-lain memaknai ghulul adalah pengkhianatan. Ayat ini adalah penegasan dari Allah yang membersihkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari segala tuduhan khianat dalam menunaikan hak, amanah dan pembagian rampasan perang dan lain-lain (lihat Tafsir Ibnu Katsir vol.1/576). Setiap individu muslim, wabil khusus para pemimpin dan pejabat publik harus mencontoh akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menegakkan system pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government).
Di dalam Al Qur’an terdapat beberapa istilah rujukan mengenai korupsi. Di dalam ayat yang kita bahas ini QS 3:161, korupsi disebut ghulul. Secara harfiah, ghulul berarti pengkhianatan terhadap amanah. Karena inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi, atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Selain itu dalam Al Qur’an korupsi disebut dengan kata As Suht (QS Al Maidah: 42, 62, 63). As Suht didefinisikan oleh sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Abdullah ibn Mas’ud ra (w.32 H) sebagai ‘menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dengan pihak penguasa untuk suatu kepentingan’ (Ahkam Al Qur’an Al Jasshash, vol.4/84). Khalifah Umar ibn Al Khattab ra (w.24 H) mengemukakan As Suht adalah ‘bahwa seseorang yang memiliki pengaruh di lingkungan sumber kekuasaan menjadi perantara dengan menerima imbalan bagi orang lain yang mempunyai kepentingan sehingga si penguasa meluluskan keperluan orang itu’ (Ibid., vol.4/85).
Dalam hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga sangat banyak rujukan mengenai korupsi, baik menyangkut jenis-jenis korupsi seperti risywah (penyuapan), penerimaan hadiah oleh para pejabat, penggelapan dan lain-lain, maupun menyangkut kebijakan dan strategi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam memberantas korupsi.
Mengomentari hadis larangan menerima hadiah bagi pejabat, Imam Asy Syafi’i (w.204 H) dalam kitab Al Umm (vol.2/63) menulis, “Apabila seorang warga memberikan hadiah kepada pejabat, maka jika hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh –melalui pejabat itu- suatu hak atau yang batil, maka haram atas pejabat itu menerima hadiahnya. Itu karena haram atasnya mempercepat pengambilan hak yang belum waktunya untuk kepentingan orang yang ia menangani urusannya (dengan terima imbalan) karena Allah mewajibkannya mengurus hak tersebut, dan haram pula atasnya mengambilkan suatu yang batil untuk orang itu dan imbalan atas pengambilan suatu yang batil itu lebih haram lagi. Demikian pula haram atasnya jika ia menerima hadiah itu agar ia menghindarkan pemberi hadiah dari sesuatu yang tidak disukai. Adapun jika ia dengan menerima hadiah itu bermaksud menghindarkan pemberi hadiah dari suatu kewajiban yang harus ditunaikannya, maka haram atas pejabat itu menghindarkan si pemberi hadiah dari kewajiban yang harus dilakukannya”.
Fatwa Asy Syafi’i itu gamblang mengharamkan segala bentuk hadiah (gratifikasi) atas pejabat dengan motif-motif berikut, a) si pemberi mendapatkan haknya lebih cepat dari waktunya yang semestinya, b) si pemberi memperoleh suatu yang batil seperti kasusnya dimenangkan atau dibebaskan dari tuntutan hukum padahal bukti menunjukkan sebaliknya, c) si pemberi dibebaskan dari sebagian kewajiban yang harus ia tunaikan seperti pajak yang nilainya dikecilkan dari aslinya, d) pemerasan di mana si pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri dan kepentingannya.
Termasuk korupsi adalah segala tindakan penggunaan uang pelicin oleh seseorang, meski secara ril tidak merugikan keuangan Negara dan rakyat, akan tetapi tindakan itu mengakibatkan lumpuhnya penegakan hukum. Di antara ulama yang keras mengharamkannya adalah Ibnu Taymiah. Beliau kemukakan hal ini dengan landasan hadis yang melaporkan kisah anak muda yang bekerja pada sebuah keluarga dan berselingkuh dengan istri majikannya. Untuk menghindari pengaduan sang majikan dan penerapan sanksi terhadapnya, ayah anak muda itu menghadiahkan 100 ekor kambing dan seorang pelayan sebagai ‘uang damai’ atas kelakuan anaknya. Perkara itu sampai juga kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau perintahkan agar harta itu dikembalikan dan para pihak yang berselingkuh dihukum sesuai aturan yang berlaku. (Majmu’ Al Fatawa, vol.27/202-203).
Pemberantasan Korupsi Ala Rasulullah
Beberapa strategi yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menangani korupsi adalah melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat seusai menjalankan tugas. Selain itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupaya menimbulkan efek kejiwaan yang dahsyat sehingga masyarakat menghindari korupsi. Hal ini dilakukan, misalnya, dengan penolakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyalatkan jenazah koruptor (cukup disalatkan oleh sahabatnya saja, lihat hadis riwayat an-Nasa’i, ‘Salatkanlah teman kalian itu –aku sendiri tidak mau menyalatkannya karena dia telah lakukan ghulul saat berjuang di jalan Allah, ketika kami periksa barang-barangnya, kami temukan manik-manik orang yahudi yang harganya tidak sampai 2 dirham’, Kitab Al Janaiz, no.1933).
Beliau menyatakan koruptor akan masuk neraka meski nominalnya kecil (riwayat Sahih Muslim no.182 dan 114, “Saat perang Khaibar seorang diduga syahid tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan orang itu masuk neraka karena menyembunyikan selimut atau mantel sebelum ghanimah dibagikan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam suruh Umar umumkan bahwa tidaklah masuk surga kecuali orang-orang yang beriman”). Selain itu, di akhirat kelak para koruptor akan sangat dihinakan, dipermalukan di hadapan Allah dengan saksi barang-barang yang ia korupsi di dunia (HR Abu Humaid As Sa’idi dalam Sahih Bukhari no.6145). Pelaku suap, penerimanya dan kurirnya akan mendapat laknat Allah (HR Ahmad dan Ibnu Majah). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tegaskan bahwa sedekah atau infak dari hasil korupsi tidak diterima Allah (Shahih Muslim, Kitab Thaharah : 114). Juga doa koruptor tak akan dikabulkan oleh Allah (Sahih Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga memperingatkan agar koruptor tidak dilindungi, disembunyikan atau ditutupi kejahatannya. Barang siapa melakukan demikian, maka ia sama dengan pelaku korupsi itu sendiri. Dari Samurah bin Jundub ra, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, siapa yang menyembunyikan koruptor, maka ia sama dengannya. (HR Abu Dawud no. 2716 Kitab Al Jihad Bab Nahyu ‘an Satr ‘ala Man Ghalla, dan Al Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir no.7023).
Adapun hukuman untuk koruptor adalah Ta’zir, dari yang paling ringan dengan kurungan penjara, lalu memecatnya dari jabatan dan memasukkannya dalam daftar orang tercela (tasyhir), penyitaan harta untuk Negara, hingga hukuman mati, sesuai besar kecilnya jumlah yang dikorupsi dan dampaknya bagi masyarakat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar