Minggu, 17 Februari 2013

Tujuan Utama Penciptaan Manusia

Tujuan Utama Penciptaan Manusia Serta Hubungannya dengan Inti Dakwah Para Nabi dan Rasul    
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (Qs. Adz-Dzariyaat : 56)

Jadi, tujuan kita di dunia ini bukan apa-apa, tapi untuk mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Adapun bumi dan isinya beserta semua pernak-perniknya Allah ciptakan untuk bekal kehidupan kita. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيْعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al Baqarah : 29)

Jadi, bumi dan segala isinya, baik yang ada di perut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk mengabdi kepada-Nya, maka amat sangat keliru bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat, padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Banyak sekali manusia mengorbankan tauhidnya, mengorbankan agamanya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, atau harta benda lainnya dari dunia yang fana ini padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala sangat menghati-hatikannya :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُوْرُ
”Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (Qs. Fathir : 5)

Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu beribadah kepada Allah dan ia malah menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.

Sedangkan maksud beribadah disini adalah mentauhidkan Allah, yaitu beribadah hanya kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena banyak manusia yang mana disamping beribadah kepada Allah, mereka juga beribadah kepada selain Allah. Dengan demikian, manusia yang seperti ini disebut musyrik, dan dia belum merealisasikan tujuan utama penciptaannya. Hal ini sebagaimana didalam firman-Nya :

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا
”Dan beribadahlah kalian kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. (Qs. An-Nisa’ : 36)

Dan juga sebagaimana ketika Rasul diperintah untuk menyeru kepada ahlul kitab :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاءً بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَابًا مِّن دُوْنِ اللّهِ فَإِنَّ تَوَلَّواْ فَقُوْلُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُوْنَ
”Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka : “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”. (Qs. Ali –Imran : 64)

Jadi inilah tujuan utama penciptaan jin dan manusia, yaitu : untuk mentauhidkan Allah. Dan untuk hal inilah Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya ke dunia, sehingga tugas utama dan inti dakwah para nabi dan rasul tersebut adalah mengajak jin dan manusia untuk mentauhidkan Allah dan menjelaskan bagaimana cara men-tauhid-kan Allah tersebut. Dan ini merupakan masalah yang paling jelas didalam Al-Qur’anul karim, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang tidak mengetahui hal ini. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُوْلاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوْتَ
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (Qs. An-Nahl : 36)

Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa semua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, yang pertama kali mereka ucapkan pada kaumnya termasuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah : “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”.

Hal ini adalah ikatan paling agung dari ikatan-ikatan Islam. Dakwah, jihad, shalat, puasa, zakat, dan haji tidak mungkin diterima tanpa hal diatas itu. Orang tidak mungkin selamat dari api neraka tanpa berpegang erat terhadapnya, karena hal itu (yaitu kufur kepada Thaghut dan iman kepada Allah) adalah satu-satunya ikatan yang telah dijamin oleh Allah bahwa itu tidak mungkin lepas, karena inilah inti dari kalimat Laa ilaaha illallah... Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا
”Telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat, karena itu barangsiapa kufur kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (Qs. Al-Baqarah : 256)

Dan firman-Nya :

وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوْتَ أَنْ يَعْبُدُوْهَا وَأَنَابُوْا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ
”Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikan berita itu kepada hamba-hamba-Ku”. (Qs. Az-Zumar : 17)

Perhatikanlah, bagaimana dalam ayat-ayat tersebut Allah mendahulukan penyebutan kufur kepada Thaghut dan menjauhinya atas iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Hal ini dilakukan tidak lain untuk mengingatkan terhadap rukun yang sangat agung dari kalimat syahadat Laa ilaaha illallah, sehingga keimanan kita kepada Allah tidak akan sah dan tidak bermanfaat kecuali bila didahului dengan kufur kepada Thaghut.

Orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang “Al-‘Urwah Al Wutsqa”. Al-‘Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah Laa ilaaha illallah karena ikatan tersebut tidak akan putus.

Maknanya : Siapa yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah memegang Laa ilaaha illallah, artinya : Kalau orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaaha illallah meskipun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.

Jadi Allah mensyaratkan bagi seseorang agar dapat dikatakan memegang Laa ilaaha illallah adalah dengan dua hal : kafir terhadap thaghut dan Iman kepada Allah atau ibadah hanya kepada Allah dan menjauhi thaghut.

Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun Islam yang paling pertama adalah Laa ilaaha illallah. Dalam hadits Al Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : “Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa anna Muhammad Rasulullah”. Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam apabila berkomitmen dengan Laa ilaaha illallah.

Kunci masuk Islam adalah Laa ilaaha illallah sebagaimana kunci masuk surga adalah Laa ilaaha illallah. Maksudnya adalah bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman atau ibadah kepada Allah. Artinya : Apabila orang tidak merealisasikan Laa ilaaha illallah maka orang tersebut belum memiliki kunci keIslaman yaitu pengamalan akan Laa ilaaha illallah.

Oleh karena itu para ulama berkata : “Sekedar me-ngucapkan Laa ilaaha illallah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaaha illallah -nya tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama”. [Lihat kitab Taisir Al ’Aziz Al Hamid]

Jadi walaupun mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya, maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebelumnya telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, Beliau bersabda : “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah (maksudnya kafir terhadap Thaghut, -ed) maka haram darah dan hartanya”.

Di sini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menetapkan keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim yang haram harta dan darahnya, jika ia mengucapkan Laa ilaaha illallah dan kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak bermanfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam, bila tidak kafir kepada thaghut.

Al-Imam Ibnul Qayyim Subhanahu Wa Ta'ala berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain : “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan Muslim”. Karena ia belum memegang Laa ilaaha illallah.

Jadi Laa ilaaha illallah itu memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di antaranya adalah kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.

Lalu mengapa kita harus kufur kepada Thaghut ? Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

اللّهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ آمَنُواْ يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِوَالَّذِيْنَ كَفَرُواْ أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوْتُ يُخْرِجُوْنَهُمْ مِّنَ النُّوْرِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah Thaghut, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran)”. (Qs. Al-Baqarah : 257)

Pada ayat-ayat di atas ada kata “kafir” dan ada kata “iman”, ada kata “orang-orang kafir” dan ada kata “orang-orang beriman”, ada Allah dan ada Thaghut. Sedangkan kafir adalah lawan dari iman, dan orang-orang kafir adalah lawan dari orang-orang beriman sebagaimana hitam adalah lawan dari putih. Kemudian ada Allah dan ada Thaghut, seorang muslim harus kafir kepada Thaghut dan tidak boleh kafir kepada Allah, harus iman kepada Allah dan tidak boleh iman kepada Thaghut. Orang-orang beriman pelindungnya adalah Allah dan orang-orang kafir pelindungnya adalah Thaghut. Diatas orang-orang beriman ada Allah, dan lawannya diatas orang-orang kafir ada Thaghut. Maka jelaslah dari ayat-ayat ini bahwa makna Thaghut yaitu lawan dari Allah sebagaimana hitam lawan dari putih.

Jadi Thaghut adalah lawan/ tandingan/ sekutu dari Allah, padahal tidak ada yang mampu untuk menjadi lawan/ tandingan/ sekutu Allah Yang Maha Perkasa. Berarti Thaghut adalah sangat bathil, gembongnya kemungkaran, penghulunya kesyirikan dan kekafiran, melampaui batas sebagai makhluk ingin menandingi penciptanya, Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Lalu apa posisi Allah..?? Allah adalah Rabb (yang menciptakan, memiliki, menguasai, mengatur) kita, oleh karena itu hanya Dialah yang menjadi ilah (sesembahan) kita atau dengan kata lain kita adalah hamba Allah (Allah adalah Tuhan). Karena Thaghut adalah lawan dari Allah (seperti hitam lawan dari putih), berarti posisi Thaghut adalah sebagai sesembahan/ Tuhan selain Allah. Oleh karena Thaghut itu adalah sesembahan/ Tuhan selain Allah, maka semua Thaghut itu adalah kafir dan wajib bagi kita untuk mengkafirkan Thaghut sebagaimana yang diperintahkan Allah.

Kemudian jika Allah telah memerintahkan kita untuk mengkafirkan dan menjauhi thaghut, maka tak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang thaghut, itu mustahil. Shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan (Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul) dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci oleh Rasul-Nya, apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan : “jauhilah thaghut…!” tentulah Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an dan Allah pasti menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut.

Sekarang permasalahannya kita tanya diri kita, apakah kita sudah tahu apa itu thaghut? Atau apakah justru kita mendekati thaghut ? Atau malah kita iman kepada thaghut ? Atau malah kita loyal kepada thaghut ? Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk mengetahuinya.

Apabila kita paham bahwa seseorang tidak dikatakan muslim, tidak dikatakan mukmin adalah kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka sekarang kita harus mengetahui apa itu thaghut.

Thaghut diambil dari kosa kata thughyaan yang maknanya adalah melampaui batas makhluk yang telah Allah batasi tujuan penciptaannya.

Adapun sesuai rincian maka telah ada dalam Al-Qur’an penegasan terhadap dua macam Thaghut yaitu : Thaghut Ibadah dan Thaghut Hukum.

Thaghut dibidang Ibadah terdapat dalam firman Allah :

وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوْتَ أَنْ يَعْبُدُوْهَا
”Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya…”. (Qs. Az-Zumar : 17)

Yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah baik itu syaitan atau orang hidup atau yang sudah mati atau hewan atau benda mati seperti pohon atau batu atau binatang, baik penyembahan itu dengan persembahan sesajian atau dengan momohon kepadanya atau dengan shalat terhadap selain Allah atau dengan mentaatinya dan mengikutinya dalam hal menyelisihi ajaran Allah.

Dan ungkapan “segala sesuatu yang diibadati selain Allah” dibatasi dengan kalimat “sedang ia ridha dengan hal itu”, untuk mengeluarkan dari Thaghut ini semacam Isa Ibnu Maryam dan para Nabi lainnya, para Malaikat dan orang-orang shalih. Mereka itu diibadati selain Allah akan tetapi mereka tidak ridha dengan peribadatan itu maka tidak satupun yang dinamakan Thaghut.

Jika hamba-hamba Allah yang shalih (para malaikat, nabi, dan orang-orang shalih) yang disembah adalah bukan Thaghut, maka siapakah Thaghut-nya??

Menyembah mereka adalah bukan keinginan dari hamba-hamba Allah yang shalih itu, akan tetapi itu adalah keinginan syaitan, syaitan itulah dengan tipu dayanya yang menyuruh manusia untuk menyembah hamba-hamba Allah yang shalih itu. Padahal pada hakikatnya mereka (para penyembah) itu bukan menyembah hamba-hamba Allah yang shalih itu, namun mereka menyembah syaitan yang berada dibalik bayangan-bayangan hamba-hamba Allah yang salih itu. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

إِنْ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ إِلاَّ إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُوْنَ إِلاَّ شَيْطَانًا مَّرِيْدًا لَّعَنَهُ اللّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا وَلأُضِلَّنَّهُمْ وَلأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأَنْعَامِ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِيْنًا يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيْهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوْرًا أُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلاَ يَجِدُوْنَ عَنْهَا مَحِيْصًا
”Mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka, yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan : “aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untukku), dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya”. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Syaitan itu memberikan janji-janji pada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan pada mereka melainkan tipuan belaka. Mereka itu tempatnya jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari daripadanya”. (Qs. An-Nisa’ : 117-121)

Begitu juga dengan batu, pohon dan hewan yang disembah, pada hakikatnya mereka menyembah syaitan yang berada pada batu/ pohon/ hewan itu, karena semua makhluk Allah tidak ada yang kafir kecuali dari jenis jin dan manusia. Dan diharuskan bagi kita untuk menghancurkan mereka (batu/ pohon/ hewan yang disembah itu) dan menyebutnya dengan Thaghut.

Sedangkan Thaghut dibidang hukum ada dalam firman-Nya :

يُرِيْدُوْنَ أَنْْ يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوْتِ
“…Mereka hendak berhukum kepada Thaghut…”. (Qs. An Nisa’ : 60)

Yaitu setiap yang dijadikan acuan hukum selain Allah, baik itu UUD atau undang-undang (Qanun Wadl’iy) atau yang memutuskan dengan selain yang Allah turunkan sama saja baik dia itu pemerintah atau qadhi (hakim) atau yang lainnya.

Ibnu Katsir berkata : “Ayat ini lebih umum dari semua itu, karena ia mencela orang yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan berhukum kepada selain keduanya berupa kebathilan. Dan inilah yang dimaksud dengan thaghut itu disini”. [Tafsir Ibnu Katsir, I / 519]

Ibnul Qayyim berkata : “Thaghut adalah segala sesuatu yang dilampaui batasnya oleh seorang hamba baik yang diibadati atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya, atau mereka mengibadatinya selain Allah atau mereka mengikutinya tanpa bashirah (penerang) dari Allah atau mereka mentaati dalam apa yang tidak mereka ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah. Inilah Thaghut-Thaghut dunia, bila engkau mengamatinya dan mengamati keadaan keadaan manusia bersamanya maka engkau melihat mayoritas mereka berpaling dari menyembah Allah kepada menyembah Thaghut dan dari berhakim kepada Allah dan Rasulnya kepada berhakim kepada thaghut serta dari mentaati Allah serta mengikuti Rasul-Nya menjadi mentaati thaghut serta mengikutinya”. [I’lamu Al Muwaqqi’in, I / 50]

Adapun Syaikh Muhammad bin Hamid Al-Faqi mengatakan tentang definisi Thaghut : “Yang dapat disimpulkan dari perkataan ‘ulama salaf, bahwasanya Thaghut itu adalah segala sesuatu yang menyelewengkan dan menghalangi seorang hamba untuk beribadah kepada Allah, dan memurnikan agama dan ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Sama saja apakah Thaghut itu berupa jin atau berupa manusia atau pohon atau batu atau yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam pengertian ini; memutuskan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan syari’atnya, dan undang-undang yang lainnya yang dibuat oleh manusia untuk menghukumi pada permasalah darah, seks dan harta, untuk menyingkirkan syari’at Allah seperti melaksanakan hukum hudud, pangharaman riba, zina, khamar dan lainnya yang dihalalkan dan dijaga oleh undang-undang tersebut. Dan undang-undang itu sendiri adalah Thaghut, dan orang-orang yang membuat dan menyerukannya adalah Thaghut. Dan hal-hal yang serupa dengan itu seperti buku-buku yang dibuat berdasarkan akal manusia untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, semuanya itu adalah Thaghut”. [Catatan kaki hal. 287 dalam kitab Fathul Majid, karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh]

Dan seorang Imam besar dakwah Tauhid, Syaikh Muhammad At-Tamimi di dalam risalahnya “Fii Ma’na Thaghut” ketika menjelaskan tentang Thaghut berkata : “Thaghut adalah umum mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedang dia itu rela dengan peribadatan tersebut, baik yang disembah, atau yang diikuti, atau yang ditaati dalam bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, ini adalah thaghut.

Thaghut-thaghut itu banyak sekali, sedangkan tokoh-tokohnya ada lima :
Pertama : Syaitan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah. Adapun dalilnya adalah firman Allah :

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
”Bukankah Aku memerintahkan kalian wahai anak-anak Adam : “Janganlah menyembah syaitan”, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian”. (Qs. Yaasin : 60)

Kedua : Pemerintah yang dhalim yang merubah hukum-hukum Allah. Dan dalilnya adalah firman-Nya :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ آمَنُواْ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَنْ يَكْفُرُواْ بِهِ
”Apakah engkau tidak memperhatikan kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang dturunkan sebelum kamu, sedangkan mereka hendak berhukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya”. (Qs. An Nisa’ : 60)

Ketiga : Orang yang memutuskan hukum dengan selain hukum Allah. Dan dalilnya adalah firman Allah :

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
”Dan siapa saja yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka merekalah orang-orang kafir”. (Qs. Al Maaidah : 44)

Keempat : Orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib. Dan dalilnya adalah firman-Nya :

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
”Dialah Dzat yang mengetahui hal yang ghaib, Dia tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun”. (Qs. Al- Jin : 26)

Dan firman-Nya :

وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan apa yang ada di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. (Qs. Al-An’am : 59)

Kelima : Segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut. Dan adapun dalilnya adalah firman Allah :

وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِّنْ دُوْنِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيْهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِيْنَ
”Dan barang siapa yang mengatakan di antara mereka ; “Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain Allah” maka Kami membalas dia dengan Jahannam, begitulah Kami membalas orang-orang yang zhalim”. (Qs. Al-‘Anbiya : 29)
[Lihat Risalah Fii Ma’na Thaghut dalam kitab Majmu’atut Tauhid]

Itulah tokoh-tokoh Thaghut didunia ini. Sedangkan orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur kepada Thaghut. Karena kufur kepada Thaghut adalah separuh Laa ilaaha illallah sebagaimana maknanya yang terkandung didalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا
”Telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat, karena itu barangsiapa kufur kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (Laa ilaaha illallah) yang tidak akan putus”. (Qs. Al-Baqarah : 256)

Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan yang paling nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallah.

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mendakwahkan Laa ilaaha illallah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallah maka gelar itu berubah menjadi : “Tukang sihir lagi pendusta”. (Qs. Shaad : 4), “Penya’ir Gila”. (Qs. Ash Shaaffat : 36) dan dalam ayat yang lain dikatakan”sesat”. Semua perubahan ini terjadi karena Laa ilaaha illallah.

Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah langsung dikatakan : gila, pendusta, penya’ir gila, melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa ilaaha illallah.

Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena mendapat intimidasi yang dahsyat, maka para shahabat yang lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethiopia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa ? Karena mempertahankan Laa ilaaha illallah. Andaikata Laa ilaaha illallah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.

Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan Islam, hal itu adalah Laa ilaaha illallah, namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaaha illallah dan tidak mengamalkan-nya, maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya ---walaupun harus meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja yang ia miliki--- apabila dia sudah merasakan nikmat Laa ilaaha illallah, maka ia akan berani meninggalkan semuanya demi meraih ridha Allah, meraih surga dan selamat dari api neraka.

Sebaliknya orang yang beramal shalih sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaaha illallah, masih berlumuran dengan kemusyrikan, kekafiran, kethaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallah yaitu : Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءَ مَّنْثُوْرًا
”Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Qs. Al-Furqan : 23)

Jadi tidak ada artinya alias hilang : shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya lenyap karena kemusyrikan.

Allah mengumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaaha illallah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira akan masuk surga dan ketika didatangi (maksudnya : mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk, ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa ?

Karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti itu. Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita ? Allah Subhanahu Wa Ta'ala juga berfirman :

وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
”Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu : Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi”. (Qs. Az-Zumar : 65)

Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengingatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul. Beliau adalah orang muslim, muwahhid, dan mukmin. Akan tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan, beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka apa gerangan dengan kita ? Rugi, karena sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu memakan biaya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa, bukankah ini suatu kerugian ?

Andai orang-orang muslim, siapa saja, bila melakukan kemusyrikan, maka lenyaplah amalnya seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, jihad, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, tetapi realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaaha illallah dan belum kufur terhadap thaghut lalu merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالًا {103}الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
”Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya ? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya”. (Qs. Al-Kahfi : 103-104)

Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firmanNya :

وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُواْ لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُواْ مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُم بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
”Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti : “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (Qs. Al-Baqarah : 167)

Jadi, Tauhid (Laa ilaaha illallah) adalah inti kehidupan kita, inti dari agama kita. Realisasikan tauhid ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta'ala menutup akhir hayat kita, karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat. Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah, untuk menjauhi thaghut.

___________________________________________________
Disadur dari “Muqaddimah Pentingnya Kajian Tauhid”, oleh Al-Ustadz Abu Sulaiman dengan perubahan.
                                                                                   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar