Kamis, 29 November 2012

AWAL DARI KEMELARATAN PANJANG

Saudaraku..
Abu Dzar al Ghifari ra pernah berujar:
“Maukah aku beritahukan kepada kalian perihal hari kemelaratanku (yang hakiki)?. Yaitu hari di mana aku di masukkan ke dalam kuburku.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).
Saudaraku..
Banyak orang yang lari dari kemiskinan hidup. Berbagai upaya dilakukan agar ia terhindar dari kemelaratan. Tidak sedikit ja
lan ditempuh untuk menyelamatkan diri darinya. Baik itu jalan yang benar ataupun jalan yang salah. Baik itu dengan cara yang halal ataupun dengan cara yang haram. Entah itu diraih dengan keridha’an orang lain maupun dengan cara menzalimi sesama. Karena kemiskinan ia pandang sebagai bencana, kepahitan tak terkira dan momok dalam kehidupan.Ungkapan sahabat Nabi yang dikenal zuhud ini, memberikan arahan bagi perjalanan hidup kita ke depan. Di antaranya: • Kemiskinan sejati adalah miskin amal shalih bukan miskin wajah, harta, jabatan, kedudukan, popularitas dan yang lainnya. Di kubur itulah tergambar jelas masa depan kita di sana. Apakah berakhir cerah atau sebaliknya suram dan gelap.
• Saat malaikat Munkar dan Nakir bertanya mengenai siapa Tuhan kita, siapa Nabi kita dan apa agama kita di alam kubur, maka yang akan menjawab adalah amalan kita dan bukan lisan kita. Jawaban yang tepat adalah pertanda baik untuk ujian berikutnya. Sebaliknya ketidak mampuan diri untuk memberikan jawaban yang benar, merupakan awal dari bencana besar yang telah menantinya.
• Setelah kita meninggalkan dunia, tiada lagi bermanfaat kenikmatan dunia yang telah kita kumpulkan berpuluh-puluh tahun dengan perasan keringat. Bahkan tidak jarang, harta benda yang kita tinggalkan justru menjadi pemicu keretakan dan pertikaian bagi ahli waris kita.
• Setelah berada di alam kubur, tiada seorangpun yang merasa dirinya kaya raya, walau segala kenikmatan hidup di dunia telah diraihnya. Karena setiap orang merasa kurang dengan amal shalih yang telah diukirnya di dunia. Terlebih bagi orang yang telah menzalimi diri sendiri, dengan jalan menghalangi dirinya dari beramal shalih. Padahal waktu, peluang dan kesempatan terbentang di hadapannya.
• Sebelum terlambat, mari kita sadari hakikat kemiskinan dan kemelaratan ini. Kita boleh miskin dan melarat di dunia. Tapi jangan sampai kita miskin dan melarat di akherat sana. Yang dimulai dari alam kubur kita. Sebab jika ajal telah menjemput kita, kehidupan sejati baru kita mulai. Apakah kita menjadi kaya lantaran pundi-pundi amal shalih yang telah kita himpun dengan susah payah di dunia. Atau sebaliknya, kita menjadi miskin amal lantaran silau dengan gemerlapnya dunia dan tertipu dengan kenikmatan semu.
• Membuka lembaran-lembaran hidup para salafus shalih, terlebih para sahabat mulia, merupakan jalan menuju keshalihan pribadi. Di sana ada keteladanan. Di sana ada pelita penerang. Dan di sana ada contoh nyata, bagaimana kita menjadi sosok pribadi muslim yang mendekati kata ‘ideal’.
Ya Rabbi, jadikanlah kami orang-orang yang kaya di akherat sana dan mudahkanlah kami mengukir amal-amal shalih dalam hidup dan kehidupan ini. Amien. Wallahu a’lam bishawab.
Riyadh, 06 November 2012 M
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar