Meski terjadi keberagaman versi rincian kisah, perjalanan Talut tersebut melahirkan banyak hikmah yang dapat menjadi pelajaran bagi muslimin. Salah satu hikmah yang dapat dipetik yakni menaati pemimpin. Dalam kisah Talut disebutkan bahwa betapa Bani Israil tak menaati perintahnya saat dilarang meminum air sungai.
Mereka pun jatuh pada dosa bahkan tak diakui lagi sebagai pengikut talut.
Padahal sebelumnya, mereka lah yang meminta nabi Sammil mengangkat
seorang pemimpin bagi mereka. Bani Israil yang meminta pemimpin untuk
berjihad, pada akhirnya mereka membangkang dan enggan berjihad bersama
Talut. Mereka pun mendapat murka Allah dan dibenci nabi.
Islam
sangat memerintahkan umat agar menaati pemimpin atau ulil amri. Terdapat
banyak dalil yang mengisyaratkan perintah tersebut. Diantaranya dalam
surah Annisa ayat 83 disebutkan, "Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)."
Serta
dalam ayat 59 dalam surah yang sama disebutkan, "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
Dalam hadis
nabi, Rasulullah pun seringkali mengingatkan umatnya agar menaati
pemimpin. Dari sahabat nabi Abu hurairah dari Nabi bersabda, Barang
siapa yang mentaati aku sungguh ia telah mentaati Allah, dan barang
siapa yang durhaka padaku sungguh ia telah mendurhakai Allah, barang
siapa yang taat pada pemimpin sungguh ia telah taat padaku, dan barang
siapa yang durhaka pada pemimpin sungguh ia telah durhaka padaku,"
hasits riwayat Muslim. Bahkan Rasulullah pun tetap menyuruh pada
ketaatan meski pemimpin tersebut berbuat dzalim.
Huzaifah bin Al
Yaman mengatakan, aku berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, Ya Rasulullah, dulu kami berada dalam kejelekan (masa jahiliyah)
lalu Allah mendatangkan kebaikan (Islam) yang kami sekarang berda
dalamnya, apakah dibelakang kebaikan ini akan ada lagi kejelekan?,
Beliau menjawab, Ya. Lalu Huzaifah berkata lagi, Apakah setelah itu akan
ada lagi kebaikan? Beliau menjawab, Ya, Huzaifah berkata lagi, Apakah
setelah itu akan ada lagi kejelekan? Beliau menjawab,Ya.
Huzaifah
berkata lagi, Bagaimana hal demikian?, Beliau menjawab, Akan datang
pada suatu masa setelah aku para pemimpin yang tidak berpedoman kepada
petunjukku, dan tidak melaksanakan sunnahku, dan akan berdiri di
tengah-tengah mereka para lelaki yang hati mereka adalah hati syaitan
yang terdapat dalam tubuh manusia. Lalu Huzaifah berkata, Apa yang harus
aku lakukan ya Rasulullah, jika aku mendapati keadaan yang demikian?
Dengar dan taatlah pada pemimpin, sekalipun ia memukul punggungmu dan
mengambil hartamu, maka tetaplah dengarkan dan patuhi perintahnya."
Hadits riwayat Muslim.
Menaati pemimpin merupakan akidah Ahlus
Sunnah. Bahkan surga dijanjikan bagi para uat yang menaati pemimpin.
Menurut Imam An-Nawawi, haram hukumnya bagi umat untuk melawan pemimpin.
Adapun keluar dari ketaatan terhadap pemimpin (penguasa) serta
memerangi (atau membangkang) mereka, maka hukumnya adalah haram
berdasarkan kesepakatan (ijma) umat Islam, walaupun pemimpin tersebut
bersifat zalim lagi fasiq, ujarnya dalam menafsirkan hadits tersebut
dalam Kitab Syarah Muslim.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul
Bari mengatakan, menaati pemimpin meski dzalim lebih baik daripada tak
memiliki pemimpin sama sekali. Dengan adanya pemimpin setidaknya umat
dalam kondisi aman darah dan jiwanya. "Telah berkata Ibnu Baththal dalam
hadis yang menjadi hujjah untuk meninggalkan sikap keluar dari ketaatan
kepada sultan (pemerintah) walaupun pemerintah tersebut seorang yang
jahat, (katanya) Para fuqaha telah bersepakat (ijma) berkenaan kewajiban
mentaati sultan (pemerintah) yang memiliki kuasa walaupun dia mendapat
kuasa tersebut dengan cara rampasan atau pemberontakkan (mutaghallib).
Dan
kita turut diwajibkan berjihad bersama-samanya. Ini kerana ketaatan
kepadanya lebih baik dari keluar meninggalkan ketaatan kepadanya (dengan
mengambil sikap membangkang atau memberontak), yang dengannya mampu
memelihara darah dan menenangkan orang ramai (masyarakat). Tidak ada
pengecualian dalam perkara ini, melainkan apabila sultan melakukan
kekafiran yang jelas nyata.," ujarnya.
Perkataan tersebut pun seperti halnya kisah Talut Jalut. Di awal kisah
disebutkan, ketika Bani Israil tak memiliki pemimpin, mereka mengalami
penindasan oleh kaum Amaliqah. Darah mereka tumpah, mereka disakiti,
kekuasaan mereka dirampas. Padahal sebelumnya, Bani Israil memiliki
kekuassan tak terkira selama 450 tahun. Namun dalam sekejap dengan tak
adanya pemimpin, kekuasaan mereka sirna. Kondisi mereka berbalik menjadi
kelompok yang dijajah dan dianiaya.(republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar