*Pujian Orang Lain di Depannya Secara Berlebihan
Selain ketawadhuan, pujian orang lain didepan seseorang juga berpotensi
membawa takabur pada orang yang dipuji. Karenanya Rasulullah
mengingatkan, bahkan dengan tegas kepada orang yang suka memuji orang
lain di depannya, apalagi secara tidak proporsional.
Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah ke muka orang yang suka memuji (HR. Muslim)
*Lalai terhadap Dampak Buruk Takabur
Orang yang takabur biasanya karena ia lalai terhadap dampak takabur.
Kelalaian di sini bukanlah kelalaian secara pengetahuan atau kognitif.
Sebab betapa banyak orang yang secara teori hafal dampak buruk takabur
tetapi ia tetap melakukannya.
Kelalaian di sini lebih dalam
maknanya daripada itu. Yakni memahami dan menyadari bahwa jika ia
melakukan takabur dampak buruk dunia akhirat bisa menghancurkannya. Di
saat seseorang sadar akan bahaya yang menimpanya, maka ia akan
menghindari perbuatan itu. Sementara pengetahuan atau hafalan yang tidak
mencegah seseorang dari takabur, belumlah mengeluarkan ia dari
kelalaian yangsebenarnya.
*Sikap Tawadhu’ Orang Lain yang Berlebihan
Ini adalah faktor eksternal yang bisa menyebabkan seseorang mejadi
takabur. Sebab orang-orang di sekelilingnya terlalu tawadhu secara
berlebihan kepada dirinya. Sebab ini sering dijumpai pada pemimpin atau
guru yang takabur disebabkan lingkungan seperti ini. Pengikut yang
tawadhu’, selalu menghormatinya, dan tidak
pernah menasehatinya, mengarahkan seseorang berpikiran bahwa ia adalah
orang mulia dan jauh dari kesalahan. Guru yang selalu dihormati muridnya
dan mendapatkan kemuliaan dari mereka juga berpotensi menganggap
dirinya sempurna. Jadilah ia takabur. Tidak menutup kemungkinan hal ini
juga menimpa ulama. Karenanya mencium tangan seseorang baik itu pemimpin
maupun ulama dimakruhkan oleh sebagian ulama.
Begitu pula
penghormatan dengan berdiri dan berbagai bentuknya. Selain itu merupakan
bentuk ketawadhu’an yang memperlemah posisi orang yang melakukan, juga
bisa menjadi faktor penyebab takabur bagi orang yang diberi
penghormatan.
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang
suka agar orang-orang berdiri untuk menghormatinya, maka bersiaplah
untuk menempati tempat duduk dari api neraka. (HR. Abu Daud)
Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda:
Janganlah kalian berdiri menyerupai orang-orang yang saling
mengagungkan satu sama lain (HR.
AbuDaud)
*Tidak Memiliki Pemahaman yang Benar tentang Hakikat Kebenaran
Ali radhiyallaahu anhu terkenal dengan kata-katanya: ”Lihatlah apa yang
diucapkan dan jangan lihat siapa yang mengucapkan.” Seringkali kita
memahami maqalah ini sebagai upaya untuk obyektif menilai kebenaran.
Namun di sana juga ada nilai bahwa kebenaran akan selamanya benar
meskipun datangnya dari siapapun.
Jika kita memiliki standar penilaian yang benar, insya Allah kita akan
lebih selamat dari bahaya menolak kebenaran, sebuah sikap yang merupakan
inti takabur. Dan kebenaran itu adalah apa yang benar menurut Allah dan
Rasul-Nya (Al-Qur’an dan Sunnah), siapapun yang mengatakannya.
*Mengira bahwa Nikmat itu Kekal pada Dirinya
Orang yang takabur biasanya lupa bahwa alasan yang melatarinya untuk
berbuat demikian tidaklah abadi pada dirinya. Kenikmatan yang ia
rasakan, yang dengannya ia menyombongkan diri hanyalah bersifat
sementara. Allah bisa mencabutnya dalam waktu yang cepat dan tak
terkira.
Tidak peduli apakah kenikmatan yang kemudian
disombongkan itu berupa harta, keturunan, popularitas, jabatan,
kekuasaan, dan sebagainya. Perihalnya menyerupai orang yang digambarkan
Allah SWT dalam salah satu firnam-Nya:
Dan dia memasuki kebun
sedangkan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata, “Aku kira
kebun itu tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari
kiamat itu akan datang. Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti
aku akan mendapatkan tempat yang lebih baik daripada kebun-kebunku
itu.”(QS.AlKahfi:35-36)
*Salah dalam Memahami Hakikat Kemuliaan
Ketika iblis mengaku lebih mulia dari Adam, ia menggunakan parameter yang salah dalam mengukur kemuliaan.
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah
kamu semua kepada Adam”, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata:
“Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (QS Israa’ : 61)
Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada
Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik
daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan
dari tanah”. (QS Al A’raaf :12)
Jika iblis memahami hakikat
kemuliaan ditentukan dari asal penciptaan, orang seperti Fir’aun
memahami hakikat kemuliaan ditentukan oleh kekuasaan. Lalu orang seperti
Qarun menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekayaan. Dan orang seperti
Haman menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekuatan dan kecerdasan.
Tiga hal yang disebutkan terakhir ini barangkali saat ini amat dominan
dipakai sebagai logika kemuliaan. Maka jika kebenaran berasal dari
mereka yang tidak lebih berkuasa akan ditolak. Al-haq yang dibawa oleh
mereka yang tidak lebih kaya dari dirinya tidak akan diterima. Dan
keadilan yang dilantangkan oleh mereka yang tidak lebih kuat dari
dirinya juga akan diabaikan.
Ada hal lain yang juga menjadi
standar salah dalam memandang hakikat kemuliaan. Misalnya usia,
pengetahuan, pengalaman, bahkan jasa. Termasuk dalam dakwah. Maka kadang
terjadi aktifis dakwah yang terjebak pada takabur dan tidak mau
menerima kebenaran karena merasa usia perjuangannya lebih lama,
pengalaman dakwahnya lebih banyak, atau jasanya lebih besar. Hingga ada
pula yang karena memandang dirinya adalah qiyadah, maka perbedaan yang
dibawa oleh jundiyahnya selalu dianggap salah. Kesalahan dalam memahami
hakikat kemuliaan bisa menjerumuskan kita ke dalam ke-takabur-an
sebagaimana iblis diusir dari surga dan dilaknat Allah
selamalamanya.
*Salah dalam Memahami Hakikat Dirinya
Iblis sebagai makhluk pertama yang dihinggapi takabur hingga membuatnya
terlempar dari surga, melakukan kesalahan fatal dalam memandang hakikat
dirinya. Ia lupa betapapun ia ditempatkan di surga, sebenarnya ia
adalah makhluk Allah.
Demikian pula orang yang takabur, terutama ketika merendahkan orang lain. Ia salah dalam memandang hakikat dirinya yang pada mulanya tercipta dari air yang hina.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (QS. As-Sajdah : 8)
Ia tidak ingat ayat ini. Ia tidak menyadari hakikat dirinya. Yang ia
tahu ia kini adalah manusia dengan organ yang sempurna, sosok yang
hebat, dan wajah yang rupawan. Berbagai potensi yang telah dianugerahkan
Allah kepadanya, mulai dari kecerdasan sampai kekayaan dan kekuasaan,
dianggap sebagai milik dirinya sendiri. Hingga segala kelebihan dari
fisik hingga akal itu dipahami sebagai hakikat dirinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar