Senin, 21 Januari 2013

7 KITA MENJADI ORANG BESAR

Siapa yang:
• Mentaati Rabb-nya.
• Berbakti kepada kedua orang tuanya.
• Menyambung tali kekerabatannya.
• Membantu saudara-saudaranya.
• Memuliakan teman-teman pergaulannya.
• Bermanfaat untuk orang-orang di sekelilingnya.
• Berperan memajukan peradaban dan membahagiakan manusia lainnya.

Dialah yang disebut penghuni langit sebagai orang besar.”
(DR. Mustafa Siba’I rahimahullah).

Saudaraku….
Siapa diantara kita yang tidak mendambakan kemuliaan, kehormatan, keluhuran dan kebesaran. Terlebih gelar itu diperoleh dari Yang di Atas sana. Karena parameter yang diatas jelas dan pasti. Berbeda dengan tolok ukur manusia yang serba berkekurangan seperti kita.

Wal hasil, sebaik apa pun kepribadian kita dan keluhuran budi pekerti kita. Di sana tetap ada orang yang membenci kita, iri hati, dan berupaya untuk menghancurkan kita.

Kita belajar dari perjalanan hidup penghulu para nabi dan rasul; Muhammad saw. Tiada seorang pun yang meragukan keindahan pekerti dan keluhuran akhlak beliau. Namun gelar-gelar negative muncul pasca dimulainya fase dakwah secara terbuka. Tepatnya tiga tahun setelah bi’tsah setelah turunnya ayat, “Dan berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214).

Gelar-gelar seperti; orang gila, penyihir, dukun, penyair dan senada dengan itu diberikan Quraisy terhadap nabi.

Oleh karena itu jika kita berbuat sebijak dan seindah mungkin. Berbicara dan berprilaku sehalus kita mampu, tetap tak akan pernah kita raih keridhaan semua orang yang mengenal kita. Tapi ketika kita hanya mengharap cinta dan keridhaan Allah. Maka hal itu bisa kita raih selama kita mau dan berusaha keras mengejarnya.

Memiliki kekuasaan, jabatan, harta kekayaan, asset bertebaran di mana-mana, kendaraan mewah dan model terbaru, bentuk tubuh yang mengagumkan, keelokan wajah dan ketampanan paras dan seterusnya. Itulah parameter kebesaran dan kehormatan dalam kaca mata manusia secara umum. Di mana bagi orang yang miskin, menetap di rumah kontrakan, wajah pas-pasan, hutang menjerat leher, kendaraan sepeda model tahun 90-an dan seterusnya. Tak akan pernah menjadi orang besar dan terhormat di hadapan manusia.

Namun ketika tolok ukurnya adalah pandangan Allah swt. Maka semua kita. Dari golongan tertinggi sampai terendah. RI 1 sampai RI 300. Semua mampu meraihnya. Selama kita mau menjadi orang besar di hadapan-Nya. Selama kita mau menjadi hamba-Nya.

Mentaati Allah swt. Ketaatan ini mutlak kita penuhi. Di kala kaya atau miskin. Senang atau susah. Bahagia atau merana. Suka atau duka. Semangat atau lesu. Sedang menjabat atau menjadi rakyat. Presiden atau pesinden. Lapang atau sempit. Sehat atau sakit dan dalam setiap keadaan dan di manapun kita berada.

Berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti kepada orang tua bukan berarti kita harus membangunkan istana untuknya. Atau melakukan apa saja yang keduanya inginkan. Mentaati keduanya tidak mutlak. Selama yang dinginkan dan diperintah keduanya tidak bertentangan dengan aturan Allah dan rasul-Nya, wajib kita ikuti. Tapi dalam hal yang melanggar aturan-Nya, kita menolaknya dengan cara yang baik. Tanpa harus membentak dan berbuat kasar terhadap keduanya.

Menyambung silaturahim. Menjalin hubungan baik dengan mereka yang masih memiliki hubungan kerabat dan pertalian darah dengan kita. Baik dalam ucapan, perbuatan, tingkah laku, tindak tanduk, sepak terjang dan seterusnya.

Membantu saudara-saudara kita. Siapa yang tak membutuhkan bantuan dari kita, sebagaimana kita juga memerlukan bantuan mereka. Membantu mereka yang kesulitan. Melepaskan mereka yang terbelenggu. Membantu menyelesaikan permasalahan mereka. Membantu mereka tetap menapaki jalan kebenaran dan seterusnya.

Memuliakan teman-teman kita. Setiap orang ingin dihargai dan dimuliakan oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya. Baik dengan ucapan atau pun perilaku. Sekecil apa pun jasa, karya, dan kebaikan orang lain kepada kita, jangan lupa kita berikan apresiasi. Minimal dengan ucapan “jazakallahu khairan katsira” mudah-mudahan Allah membalas anda dengan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya tiada seorang pun yang ingin direndahkan, dihina, diejek dan yang senada dengan itu. Hati terasa sakit, merintih menahan pilu jika direndahkan dan tak dihargai oleh orang lain. Dan cukup label sombong melekat pada orang yang suka merendahkan orang lain.

Bermanfaat untuk sesama. Di mana dan kapan saja, selama kita mampu untuk memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitar kita, lakukanlah. Ingat, tiada kebaikan dan kemanfaatan yang kita ukir untuk orang lain, melainkan akan menjadi tabunngan pahala bagi kita di akherat. Namun jangan kita lupa, seberapa pun besar nilai manfaat dan kebaikan kita untuk sesama, jangan kita menyebut-nyebutnya, mengharap pamrih dan balasan dari mereka. Karena hal itu menyebabkan sirnanya pahala dan tak mustahil kita akan kecewa karenanya.

Berperan memajukan peradaban dan membahagiakan manusia. Di tempat kerja, di lingkungan tempat kita tinggal, di masjid, di sawah ladang, di pasar dan pusat perbelanjaan dan seterusnya, hendaknya kita bisa memberikan andil yang besar bagi kemajuan umat dan menjadikan mereka bahagia dalam hidup. Jangan sampai kita menjadi seperti kata pepatah “wujuduhu ka’adamihi” kehadirannya sama seperti ketidak munculannya. Artinya tiada peran yang mampu kita ambil demi kemajuan umat Islam.

Saudaraku…

Apakah kita mau menjadi orang besar? Atau kita rela menjadi orang kecil dan kerdil dalam hidup ini? Segera tentukan sikap. Karena waktu tak pernah menunggu kita. Wallahu a’lam bishawab.

Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
www.Inspirasiislami.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar