7 KITA MENJADI ORANG BESAR
Siapa yang:
• Mentaati Rabb-nya.
• Berbakti kepada kedua orang tuanya.
• Menyambung tali kekerabatannya.
• Membantu saudara-saudaranya.
• Memuliakan teman-teman pergaulannya.
• Bermanfaat untuk orang-orang di sekelilingnya.
• Berperan memajukan peradaban dan membahagiakan manusia lainnya.
Dialah yang disebut penghuni langit sebagai orang besar.”
(DR. Mustafa Siba’I rahimahullah).
Saudaraku….
Siapa diantara kita yang tidak mendambakan kemuliaan, kehormatan,
keluhuran dan kebesaran. Terlebih gelar itu diperoleh dari Yang di Atas
sana. Karena parameter yang diatas jelas dan pasti. Berbeda dengan tolok
ukur manusia yang serba berkekurangan seperti kita.
Wal hasil,
sebaik apa pun kepribadian kita dan keluhuran budi pekerti kita. Di
sana tetap ada orang yang membenci kita, iri hati, dan berupaya untuk
menghancurkan kita.
Kita belajar dari perjalanan hidup penghulu
para nabi dan rasul; Muhammad saw. Tiada seorang pun yang meragukan
keindahan pekerti dan keluhuran akhlak beliau. Namun gelar-gelar
negative muncul pasca dimulainya fase dakwah secara terbuka. Tepatnya
tiga tahun setelah bi’tsah setelah turunnya ayat, “Dan berilah
peringatan kepada karib kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara’: 214).
Gelar-gelar seperti; orang gila, penyihir, dukun, penyair dan senada dengan itu diberikan Quraisy terhadap nabi.
Oleh karena itu jika kita berbuat sebijak dan seindah mungkin.
Berbicara dan berprilaku sehalus kita mampu, tetap tak akan pernah kita
raih keridhaan semua orang yang mengenal kita. Tapi ketika kita hanya
mengharap cinta dan keridhaan Allah. Maka hal itu bisa kita raih selama
kita mau dan berusaha keras mengejarnya.
Memiliki kekuasaan,
jabatan, harta kekayaan, asset bertebaran di mana-mana, kendaraan mewah
dan model terbaru, bentuk tubuh yang mengagumkan, keelokan wajah dan
ketampanan paras dan seterusnya. Itulah parameter kebesaran dan
kehormatan dalam kaca mata manusia secara umum. Di mana bagi orang yang
miskin, menetap di rumah kontrakan, wajah pas-pasan, hutang menjerat
leher, kendaraan sepeda model tahun 90-an dan seterusnya. Tak akan
pernah menjadi orang besar dan terhormat di hadapan manusia.
Namun ketika tolok ukurnya adalah pandangan Allah swt. Maka semua kita.
Dari golongan tertinggi sampai terendah. RI 1 sampai RI 300. Semua mampu
meraihnya. Selama kita mau menjadi orang besar di hadapan-Nya. Selama
kita mau menjadi hamba-Nya.
Mentaati Allah swt. Ketaatan ini
mutlak kita penuhi. Di kala kaya atau miskin. Senang atau susah. Bahagia
atau merana. Suka atau duka. Semangat atau lesu. Sedang menjabat atau
menjadi rakyat. Presiden atau pesinden. Lapang atau sempit. Sehat atau
sakit dan dalam setiap keadaan dan di manapun kita berada.
Berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti kepada orang tua bukan berarti
kita harus membangunkan istana untuknya. Atau melakukan apa saja yang
keduanya inginkan. Mentaati keduanya tidak mutlak. Selama yang dinginkan
dan diperintah keduanya tidak bertentangan dengan aturan Allah dan
rasul-Nya, wajib kita ikuti. Tapi dalam hal yang melanggar aturan-Nya,
kita menolaknya dengan cara yang baik. Tanpa harus membentak dan berbuat
kasar terhadap keduanya.
Menyambung silaturahim. Menjalin
hubungan baik dengan mereka yang masih memiliki hubungan kerabat dan
pertalian darah dengan kita. Baik dalam ucapan, perbuatan, tingkah laku,
tindak tanduk, sepak terjang dan seterusnya.
Membantu
saudara-saudara kita. Siapa yang tak membutuhkan bantuan dari kita,
sebagaimana kita juga memerlukan bantuan mereka. Membantu mereka yang
kesulitan. Melepaskan mereka yang terbelenggu. Membantu menyelesaikan
permasalahan mereka. Membantu mereka tetap menapaki jalan kebenaran dan
seterusnya.
Memuliakan teman-teman kita. Setiap orang ingin
dihargai dan dimuliakan oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya. Baik
dengan ucapan atau pun perilaku. Sekecil apa pun jasa, karya, dan
kebaikan orang lain kepada kita, jangan lupa kita berikan apresiasi.
Minimal dengan ucapan “jazakallahu khairan katsira” mudah-mudahan Allah
membalas anda dengan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya tiada
seorang pun yang ingin direndahkan, dihina, diejek dan yang senada
dengan itu. Hati terasa sakit, merintih menahan pilu jika direndahkan
dan tak dihargai oleh orang lain. Dan cukup label sombong melekat pada
orang yang suka merendahkan orang lain.
Bermanfaat untuk
sesama. Di mana dan kapan saja, selama kita mampu untuk memberikan
manfaat bagi orang-orang di sekitar kita, lakukanlah. Ingat, tiada
kebaikan dan kemanfaatan yang kita ukir untuk orang lain, melainkan akan
menjadi tabunngan pahala bagi kita di akherat. Namun jangan kita lupa,
seberapa pun besar nilai manfaat dan kebaikan kita untuk sesama, jangan
kita menyebut-nyebutnya, mengharap pamrih dan balasan dari mereka.
Karena hal itu menyebabkan sirnanya pahala dan tak mustahil kita akan
kecewa karenanya.
Berperan memajukan peradaban dan
membahagiakan manusia. Di tempat kerja, di lingkungan tempat kita
tinggal, di masjid, di sawah ladang, di pasar dan pusat perbelanjaan dan
seterusnya, hendaknya kita bisa memberikan andil yang besar bagi
kemajuan umat dan menjadikan mereka bahagia dalam hidup. Jangan sampai
kita menjadi seperti kata pepatah “wujuduhu ka’adamihi” kehadirannya
sama seperti ketidak munculannya. Artinya tiada peran yang mampu kita
ambil demi kemajuan umat Islam.
Saudaraku…
Apakah kita
mau menjadi orang besar? Atau kita rela menjadi orang kecil dan kerdil
dalam hidup ini? Segera tentukan sikap. Karena waktu tak pernah menunggu
kita. Wallahu a’lam bishawab.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
Tidak ada komentar:
Posting Komentar