Jika ditinjau dari aspek historis, pernyataan Comte itu relevan untuk diri dan orang sezamannya. Namun logika Comte itu sama sekali tidak berguna dan tak laku bagi umat Islam, kapan dan di manapun di seluruh dunia ini. Sayangnya, logika rusak ini justru menjadi materi pelajaran sosiologi dan filsafat ilmu di kalangan siswa dan mahasiswa, maka tidak sedikit Muslim modern yang juga salah pandang terhadap arti kemajuan dan modernitas.
***
Dunia hari ini memandang kemajuan itu dari
aspek materi, berupa teknologi dan materi. Sering kita mendengar bahwa
orang yang belum tahu gadget terbaru, game terbaru, pakaian terbaru,
atau mobil baru, disebut sebagai ketinggalan zaman. Padahal,
perkembangan teknologi itu tidak akan pernah berhenti. Akan selalu ada
produk terbaru setiap tahun, bahkan mungkin pertriwulan. Jangankan hand
phone, produk mobil saja setahun bisa muncul lebih dari tiga jenis mobil
varian terbaru.
Konsekuensi dari banyaknya produk baru,
meniscayakan iklan besar-besaran. Akhirnya, tidak bisa kita pungkiri,
banyak umat Islam yang mau tidak mau harus mengkonsumsi iklan
produk-produk baru, hampir setiap kali mereka melihat komputer, tablet,
koran, bahkan SMS. Akibatnya jelas, cepat atau lambat, pola berpikir
konsumtif pun merajalela. Sering orang bekerja mati-matian untuk membeli
hp keluaran terbaru. Bahkan, ada seorang gadis yang rela menjual
tubuhnya untuk bisa membeli hp tercanggih di negeri ini.
Bagi Muslim yang berkecukupan bahkan
berlebih, sebagian sudah melupakan saudaranya yang membutuhkan. Mereka
sibuk mengoleksi benda-benda, mulai dari baju, sepatu, hp, bahkan sampai
peralatan mewah yang super mahal. Semua itu menjadi kebanggaan,
pemelihara gengsi, dan pengangkat derajat dalam pergaulan. Akhirnya,
orang berlomba-lomba mencari kekayaan dan menumpuk-numpuk harta.
Mereka masih tetap Muslim, tetapi pola
pikir mereka sudah keliru. Seorang Muslim, mestinya mencari akhirat
tanpa lupa dunia (QS. 28: 77). Sekarang, situasinya berbeda, orang
mengejar dunia dengan tidak lupa akhirat, bahkan ada yang melupakan
akhirat demi dunia. Jelas ini pola pikir yang salah.
Mungkin karena pemikiran Comte yang
disuapin pada generasi bangsa melalui pendidikan sosiologi atau mungkin
karena kajian filsafat ilmu di perkuliahan. Atau bisa jadi, karena
sebagian besar umat Islam sendiri belum sungguh-sungguh mengkaji,
menggali, dan memaknai Al-Qur’an secara serius, sehingga mayoritas umat
Islam hari ini banyak meninggalkan ajaran agama, karena begitu cintanya
terhadap kehidupan dunia.
Allah Subhanahu Wata’ala jauh-jauh hari
telah menegaskan kepada kita bahwa kehidupan dunia ini hanyalah
kesenangan sementara, menipu, dan senda gurau belaka. Artinya, umat
Islam dalam menjalani kehidupan dunia ini harus menghiasi dirinya dengan
sifat mulia, yakni sifat takwa.
Takwa, Cerdas
Tetapi manusia sering lalai dan cenderung
tidak mau merenung. Bahkan manusia sering mementingkan hal-hal remeh dan
mengabaikan hal utama, sehingga hati tidak bekerja dengan sempurna,
akal terbuai, dan akhirnya sangat cinta pada kehidupan dunia. Bahkan
rela menanggalkan ajaran-ajaran agama, meskipun hati nurani sangat
mengerti.
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini,
selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung
akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?.” (QS. Al Maidah [6]: 32).
Pada ayat sebelumnya (QS. 6 : 31) Allah tegaskan secara gamblang perihal orang kafir yang sangat menyesali diri mereka karena telah mendustakan Allah karena sangat cinta dunia. Qatadah sebagaimana termaktub dalam tafsir Ibn Katsir menyatakan bahwa sangatlah rugi dan menyesal manusia yang mendustakan Allah karena begitu cintanya kepada kehidupan dunia, mereka itulah orang kafir.
Lebih lanjut, Ibn Abi Hatim mengatakan dari Abu Marzuq, “Ketika keluar dari kuburnya, orang kafir atau orang jahat itu disambut oleh sosok dalam wujud yang paling buruk lagi bau busuk. Si kafir bertanya; ‘Siapa kamu ini?’ ‘Apakah kamu tidak mengenaliku?’ tanya sosok itu. ‘Tidak, kecuali bahwa Allah telah menjadikan wajahmu buruk dan menjadikan baumu busuk,’ papar si kafir itu.
Sosok itu pun menjawab, ‘Aku adalah amal keburukanmu, seperti inilah kamu dahulu ketika di dunia beramal yang buruk lagi busuk. Selama di dunia engkau telah menunggangiku. Maka marilah sekarang aku menunggangimu!’
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, Muslim yang mementingkan hal-hal tidak penting, dan memprioritaskan hal-hal yang tidak dibutuhkan untuk kehidupan akhiratnya, bisa termasuk manusia yang merugi dan menyesal atas segala perbuatannya selama di dunia. Dan, hanya Muslim yang bertakwa yang akan selamat dari tipu daya kehidupan dunia.
Mari kita simak kembali firman-Nya;
وَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah ke- nikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. al-Qashah [28]: 60).
Secara umum dapat dipahami bahwa hanya Muslim yang bertakwa yang dapat menggunakan akal sehatnya dengan benar, sehingga tidak silau oleh kehidupan dunia. Ayat tersebut sekaligus menjadi peringatan keras bagi Muslim yang belum bertakwa untuk benar-benar memaksimalkan fungsi akalnya, sehingga terbebas dari penyesalan tiada arti di akhirat kelak.
Jadi, takwa itu tidak identik dengan ibadah semata, takwa itu adalah buah dari (QS. 3 : 190-191). Oleh karena itu, mari kita senantiasa tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Dan, mulai sekarang kita harus memahami seruan khotib setiap Jum’at untuk meningkatkan ketakwaan dengan cara meningkatkan ilmu, iman, dan amal kepada Allah SWT. Sebab takwa itu adalah akumulasi dari iman yang teguh, ilmu yang dalam, dan amal yang kuat.
Pada ayat sebelumnya (QS. 6 : 31) Allah tegaskan secara gamblang perihal orang kafir yang sangat menyesali diri mereka karena telah mendustakan Allah karena sangat cinta dunia. Qatadah sebagaimana termaktub dalam tafsir Ibn Katsir menyatakan bahwa sangatlah rugi dan menyesal manusia yang mendustakan Allah karena begitu cintanya kepada kehidupan dunia, mereka itulah orang kafir.
Lebih lanjut, Ibn Abi Hatim mengatakan dari Abu Marzuq, “Ketika keluar dari kuburnya, orang kafir atau orang jahat itu disambut oleh sosok dalam wujud yang paling buruk lagi bau busuk. Si kafir bertanya; ‘Siapa kamu ini?’ ‘Apakah kamu tidak mengenaliku?’ tanya sosok itu. ‘Tidak, kecuali bahwa Allah telah menjadikan wajahmu buruk dan menjadikan baumu busuk,’ papar si kafir itu.
Sosok itu pun menjawab, ‘Aku adalah amal keburukanmu, seperti inilah kamu dahulu ketika di dunia beramal yang buruk lagi busuk. Selama di dunia engkau telah menunggangiku. Maka marilah sekarang aku menunggangimu!’
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa, Muslim yang mementingkan hal-hal tidak penting, dan memprioritaskan hal-hal yang tidak dibutuhkan untuk kehidupan akhiratnya, bisa termasuk manusia yang merugi dan menyesal atas segala perbuatannya selama di dunia. Dan, hanya Muslim yang bertakwa yang akan selamat dari tipu daya kehidupan dunia.
Mari kita simak kembali firman-Nya;
وَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah ke- nikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. al-Qashah [28]: 60).
Secara umum dapat dipahami bahwa hanya Muslim yang bertakwa yang dapat menggunakan akal sehatnya dengan benar, sehingga tidak silau oleh kehidupan dunia. Ayat tersebut sekaligus menjadi peringatan keras bagi Muslim yang belum bertakwa untuk benar-benar memaksimalkan fungsi akalnya, sehingga terbebas dari penyesalan tiada arti di akhirat kelak.
Jadi, takwa itu tidak identik dengan ibadah semata, takwa itu adalah buah dari (QS. 3 : 190-191). Oleh karena itu, mari kita senantiasa tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Dan, mulai sekarang kita harus memahami seruan khotib setiap Jum’at untuk meningkatkan ketakwaan dengan cara meningkatkan ilmu, iman, dan amal kepada Allah SWT. Sebab takwa itu adalah akumulasi dari iman yang teguh, ilmu yang dalam, dan amal yang kuat.
Lebih eksplisit takwa itu adalah seperti
yang disabdakan Nabi tentang manusia yang cerdas. Yakni manusia yang
paling banyak mengingat mati, dan paling sungguh-sungguh mempersiapkan
untuk menghadapinya. Jadi, takwa itu adalah kecerdasan utama.
Sayangnya, belum banyak di antara kita yang benar-benar memahaminya.
Dengan demikian, manusia yang paling maju
bukanlah manusia modern yang menganut paham positivisme seperti ungkapan
Auguste Comte. Tetapi, manusia paling maju, paling bejo, dan paling
bahagia adalah manusia yang memahami Al-Qur’an dengan baik, sehingga
mampu menjadi seorang Muslim yang bertakwa.
Perlu dicatat, bahwa tidak akan ada ketakwaan tanpa Al-Qur’an. Maka sudah seharusnya setiap Muslim memahami dan antusias mempelajari Al-Qur’an. Jika demikian, masihkah kita akan meninggalkan Al-Qur’an dan meyakini pendapat manusia yang tidak beriman?
Perlu dicatat, bahwa tidak akan ada ketakwaan tanpa Al-Qur’an. Maka sudah seharusnya setiap Muslim memahami dan antusias mempelajari Al-Qur’an. Jika demikian, masihkah kita akan meninggalkan Al-Qur’an dan meyakini pendapat manusia yang tidak beriman?
لَقَدْ أَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَاباً فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya telah Kami turunkan
kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan
bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al Anbiyaa' [21]: 10).
Dalam ayat yang lain Allah tegaskan bahwa manusia yang paling mulia itu adalah Muslim yang paling bertakwa (QS. 49: 13). Berarti, manusia yang paling bertakwa di antara kita adalah manusia yang paling berakal (cerdas).*/Imam Nawawi Red: Cholis Akbar
Dalam ayat yang lain Allah tegaskan bahwa manusia yang paling mulia itu adalah Muslim yang paling bertakwa (QS. 49: 13). Berarti, manusia yang paling bertakwa di antara kita adalah manusia yang paling berakal (cerdas).*/Imam Nawawi Red: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar