Kamis, 06 Desember 2012

Surat untuk Via

Barangkali kamu bertanya untuk apa aku menanyakan ini. Bukankah kamu bertemu denganku hampir setiap hari, begitu pikirmu pasti. Tetapi, Via, kali ini aku tidak sedang berbasa-basi. Belakangan aku merasa resah karena kamu berubah.

Kamu tentu berhak untuk itu — untuk perubahan. Seperti kota ini yang setiap harinya juga tidak pernah sama. Aku pun bukan seorang posesif yang akan menuntutmu untuk selalu sama.

Namun, Via, ketika perubahan itu membuatmu tidak lagi menjadi dirimu, aku sungguh tidak rela.

Ingatkah kamu akan perjumpaan pertama kita? Ah, pasti kamu sudah lupa.
Saat itu awal tahun 2007; kamu belum setenar sekarang. Aku sedang menuju stasiun kereta; kamu sedang berdandan. Aku bisa merasakan bahwa kamu berbeda dengan yang lain, walaupun saat itu kamu tampak berantakan. Padamu, ada kecantikan yang tidak mampu kuceritakan.

Perlahan, aku mulai mengenalmu, dan aku menikmati setiap pertemuanku denganmu. Bahkan, setiap kali hendak menjelajah Jakarta, aku sering kali mampir ke rumahmu, meski sekadar lewat.

Aku menikmati matahari pagi yang selalu mengelus kulitmu, juga terik siang yang teduh bersamamu. Aku menikmati senja sore yang malu-malu menyinari hatimu, juga bulan malam yang bersembunyi di sela-sela jarimu.

Kamu, bagiku, adalah jendela — celah kecil tempat aku bisa menikmati secangkir kopi atau segelas es cendol, sambil menghirup udara segar dan menatap kehidupan.

Perlahan juga, semakin banyak orang yang menyukaimu, apalagi setelah kamu semakin cantik. Lihat saja macam-macam orang yang ingin berfoto denganmu: dari remaja, pemuda, model, bule, orang tua, bahkan pasangan segera nikah!

Kamu, bagi mereka, adalah taman — tempat mereka bisa bersepeda, bermain bola, menikmati waktu, hingga memadu cinta.

Aku tidak merasa perlu untuk cemburu dengan mereka. Hatimu memang terlalu lapang untuk dinikmati olehku sendiri. Kamu adalah milik bersama.

Namun, Via, kini hampir tidak ada lagi hati lapang yang kumaksud. Kesediaanmu untuk menerima siapa pun justru membuat hatimu kini terasa sesak.

Yang tersisa darimu adalah kesemrawutan pasar malam yang memenuhi sekujur tubuhmu. Tak ada lagi ruang di hatimu untuk aku dan yang lain bersantai menikmati waktu.

Mereka yang bersepeda dan bersepakbola sudah jarang terlihat. Kamu, yang dulu bagi mereka adalah taman, kini dipenuhi dagangan makanan, baju, cincin, sepatu, telepon genggam, dan lain-lain. Oh, apa bedanya kamu kini dengan yang lain, yang menjual diri untuk transaksi jual-beli semata?

Terakhir kali aku menumpang makan di rumahmu, aku dihampiri lebih dari sepuluh pengamen bergantian yang memasang muka sangar. Satu kali, ketika aku tidak memberikan apa pun, seorang pengamen berteriak kasar: “Ngomong dari tadi, kek!”

Aku tidak lagi dapat merasakan keramahanmu, Via. Aku yakin, banyak orang lain yang juga merasa kehilangan. Tidak kah kamu menyadari, ada yang hilang dari dirimu?
Dengan segala rasa sayang bercampur cemas, aku berharap kamu baik-baik saja, Oude Batavia*.

*Oude Batavia adalah sebutan untuk daerah kota tua Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar