oleh: Shalih Hasyim
MEMANG tidak sederhana menjadi seorang pemimpin yang
legal secara formal dan legitimed (dicintai bawahannya). Sebelum
seseorang diakui dan diamini menjadi pemimpin memerlukan seleksi yang
ketat dan berproses secara alamiah (natural). Sedangkan rakyat, ketika
lahir di dunia ini secara otomatis menjadi rakyat. Karena, kalangan
menengah dan atas lah yang memiliki kemampuan untuk memilah-milah,
memilih, memetakan, dan mengurai serta memutuskan persoalan (ahlul hall wal ‘aqd). Sedangkan kelompok kedua, kehadirannya tidak memerlukan kompetensi khusus.
Kepemimpinan yang berkualitas (leader) adalah persoalan krusial (fundamental) di dalam membangun bangsa dan negara.
Dalam struktur yang dikenal di masyarakat hanya terdiri dari dua level. Kalangan atas (al-Qiyadah) dan kalangan bawah, grass root (al-Jundiyah).
Bapak sosiolog muslim, Ibnu Khaldun mengatakan: Taghyiru khuluqil ummati tabi’un litaghyiri khuluqil qiyadah
(perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah pada
kalangan elitisnya).Ada ungkapan lain yang memiliki makna senada: Ar Ra’iyyatu ‘ala dini mulkihi (kualitas agama rakyat berbanding lurus dengan mutu keaga maan rajanya).
Jadi, sejak dahulu sampai sekarang masyarakat kita pada umumnya memiliki karakteristik paternalistik. Gampang untuk sendika dhawuh (sami’na wa ‘atha’na), patuh terhadap petuah pemimpin yang melayani mereka, memahami dan menampung aspirasi yang dipimpin.
Bahkan, kualitas seorang pemimpin tidak semata-mata ditentukan oleh ketrampilannya dalam berorasi dan berdiplomasi (katsratur riwayah), tetapi diukur dari kemampuannya dalam mendengar dan melayani (katsratur ri’ayah wal Istima’). Hal itu diperkuat dengan ungkapan Umar bin Khathab: Sayyidul Qaumi khadimuhum
(penghulu sebuah komunitas adalah yang trampil melayani mereka dalam
berbagai kebutuhannya, dan menampung aspirasi, keluhan mereka, bukan
yang mengkhianati mereka (khadi’uhum).
Oleh karena itu, bila suatu bangsa memilih pemimpin yang memiliki
komitmen dan kompetensi yang unggul, kreatif, visioner, prospektif, maka
akan mengantarkan penduduknya dapat menikmati dan memaknai masa
depannya. Sebuah bangsa akan bangkrut, merugi, secara moral dan
material, tidak memiliki daya saing dengan bangsa lain, dan akan terjadi
chaos di dalamnya apabila stok kepemimpinan yang dimilikinya tidak
berkualitas.
Jika kita menoleh ke belakang, krisis multidimensional (moral dan
material) yang pernah menggerogoti Negara kita salah satu diantara
faktor penyebabnya berpangkal dari kepemimpinan nasional yang kandas
membawa bahtera Indonesia untuk berlabuh menuju pulau harapan. Pemimpin
saat itu gagal membawa Indonesia untuk bangkit dari kehinaan, kebodohan,
keterjajahan pisik dan mental, serta melepaskan diri dari kualitas
kehidupan yang rendah.
Secara obyektif kita mengakui bahwa pada tahun-tahun pertama rezim
Orde Baru ada kreativitas dan komitmen (keterikatan yang kuat) untuk
membangun bangsa yang sungguh-sungguh dengan visi jauh ke depan. Tetapi,
dengan pergiliran dan perguliran waktu, harapan itu tidak berhasil
diwujudkan secara kongkrit (realistis). Bahkan kepemimpinan nasional
mengalami de-generasi dan demoralisasi.
Model kepemimpinan pada masa itu hanya difokuskan untuk
mempertahankan status quo. Soeharto hanya bertindak sebagai penguasa
bukan sebagai sosok negarawan.
Peristiwa malapetaka Januari 1974 merupakan bukti yang sangat valid
fenomena pembusukan dari dalam kepemimpinan Orde Baru. Peristiwa Malari,
di mana para mahasiswa dan tokoh kampus melakukan protes keras untuk
menggugat rezim yang sedang berkuasa, karena tidak menunjukkan
keberpihakannya kepada rakyat kecil (wong cilik), tetapi membela wong licik (pengkhianat bangsa).
Demikian pula pada era reformasi, sekalipun kebebasan berserikat dan
berpendapat mendapat salurannya yang memadai, tetapi penyelenggaraan
ketatanegaraan kurang lebih sama dengan pemerintahan sebelumnya.
Penegakan hukum, pembrantasan KKN, keamanan, ekonomi, pendidikan,
kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan yang lain masih belum
menunjukkan grafik kenaikan (baca : peningkatan) yang berarti. Perubahan
mendasar dan signifikan belum kunjung dirasakan oleh masyarakat bawah
yang selama ini menjadi tulang punggung Negara. Pemerintahan yang ada
berkuasa secara formal konstitusional tetapi tidak legitimed.
Lima Indikator Pemimpin Ideal
Untuk menghadapi tantangan abad ke – 21, secara sederhana dapat
dikemukakan masalah strategis yang sepatutnya dipenuhi oleh unsur-unsur
kepemimpinan nasional mendatang sebagai berikut :
Pertama: Profesional. Kualitas tokoh-tokoh nasional
yang akan datang memiliki kualitas intelektual, integritas moral yang
memadai dan visioner serta profesional. Tentu sangat fatal akibatnya
tokoh-tokoh yang bergabung dalam kepemimpinan nasional ke depan memiliki
mutu yang sepadan dengan rata-rata anggota masyarakat. Ada suatu
aksioma bahwa para pemimpin itu satu tingkat atau dua tingkat diatas
kebanyakan rakyat yang dipimpin. Jika para pemimpin kurang bermoral,
kurang cerdas, kurang terampil, akan mempengaruhi kualitas kehidupan
masyarakat. Apalagi masyarakat kita masih paternalistik.
Nabi mereka mengatakan kepada mereka : Sesungguhnya Allah telah
mengangkat Thalut menjadi rajamu. Mereka menjawab : Bagaimana Thalut
memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak? (Nabi
mereka) berkata: Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu
dan menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa. Allah
memberikan pemerintahan kepadanya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui (QS. Al Baqarah (2) : 247)
Kedua: Clean Government. Kepemimpinan yang bersih
dan berwibawa ini dimulai dari kepemimpinan yang jujur dan bersih dari
cacat moral yang fatal. Pepatah asing mengatakan bahwa honesty is the best policy.
Kejujuran adalah kebijakan yang paling baik. Pemimpin itu harus jujur
kepada dirinya, kepada masyarakatnya, dan yang terpenting adalah
kejujuran kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemimpin yang tidak jujur akan
mudah terjatuh pada perangkap korupsi, kolusi dan nepoteisme, dan
kemunafikan. Pemimpin yang banyak bertopeng, KKN, yang merupakan simbol
kerusakan moral negeri ini terbukti menghancurkan kepemimpinan kita dari
Orla, Orba dan Orde Reformasi. Pangkal kerusakan yang terjadi di pentas
sejarah perpolitikan dunia terbukti diawali dari distribusi wewenang
yang tidak merata kemudian diikuti oleh ketidakadilan distribusi
ekonomi.
Ketiga: Berdedikasi Tinggi. Pemimpin adalah orang
yang bersedia melakukan pengorbanan atas kepentingan pribadinya untuk
kepentingan yang lebih besar. Yaitu kepentingan bangsa dan Negara. Kalau
pemimpin mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok, partai, dan familinya maka akan terjadi repetisi
atau pengulangan kepemimpinan masa lampau. Pengamat luar negeri
mengatakan H.M. Soeharto sukses menjadi a very good father of family, tetapi gagal menjadi Father of Indonesia.
Pemimpin ke depan harus menyadari secara mendalam bahwa ia bukan
sekedar menjadi anggota keluarganya, kelompok dan partainya, tetapi
pemandu 250 juta lebih bangsa Indonesia dari Sabang sampai Meraoke
dengan segala macam perbedaan, etnis, suku dan aspirasi yang harus
direkonsiliasikan secara arif. Alangkah idealnya jika presiden terpilih
mengundurkan diri dari partainya. Karena ia sudah menjadi milik seluruh
rakyat Indonesia.
Dalam kacamata agama dapat dipahami bahwa penghulu kaum itu
sesungguhnya adalah yang sukses melayani mereka. Bahwa dalam berbagai
bidang kehidupan yang lain jiwa melayani, mengabdi, dedikasi, adalah
merupakan tolak ukur keberhasilan dalam memikul tugas dan tanggungjawab.
Pemimpin tidak identic dengan penguasa, tetapi negarawan.
Keempat: Berjiwa Besar (permadani). Gaya
kepemimpinan yang dewasa (njawani, Bhs Jawa). Bisa menampung berbagai
macam karakter. Seorang pemimpin yang reaktif, emosional, tentu akan
menjadi pemimpin yang buruk. Tidak dapat memecahkan masalah-masalah
dengan kepala dingin dan pikiran yang jernih, canggih, dan stamina jiwa
yang prima. Seorang pemimpin yang grusa-grusu (gegabah) hanya
akan mengikuti panggilan emosinya. Padahal pemimpin itu orang yang
pandai memaafkan kesalahan orang lain, bahkan ia memohonkan ampun atas
kesalahan rakyatnya kepada Tuhan.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً
غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut
kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS:Ali Imran (3) : 159).
Kelima: Menerapkan Kepemimpinan Kolektif. Pemimpin
ke depan harus menyadari bahwa ia tidak tahu segala-galanya dan tidak
menguasai segala-galanya. Kepemimpinan kolektif harus menjadi alternatif
model kepemimpinan ke depan. Apalagi ciri yang menonjol masyarakat
globalisasi adalah masyarakat jaringan. Kekuatannya terletak pada
ketrampilannya dalam menjalin komunikasi lintas kelompok, partai, bahkan
Negara (network). Komunitas dinosaurus punah dari muka bumi ini karena
memandang setiap perkembangan lingkungan sosialnya dipersepsikan sebagai
ancaman, rivalitas, bukan dipandang sebagai anugrah dan mitra berpikir
dan bekerja.
Kita tidak perlu mengulangi model kepemimpinan yang bersifat one man show
(menonjolkan kharisma individu pemimpin) sebagaimana yang terjadi
selama kepemimpinan Orba. Sebab, pola kepemimpinan terakhir
mengakibatkan tsunami nasional yang terbesar. Dengan kepemimpinan yang
bersifat kolegal, diharapkan bangsa Indonesia memasuki masa depan dengan
langkah yang pasti. Karena kemampuan pemimpin untuk mengelola dan
mensinergikan berbagai potensi akan menjadi modal kekuatan bangsa. Hanya
Rasulullah Shallallahu ‘alahi Wassalam yang ma’shum, yang di dalam
dirinya berhasil melakukan fungsi eksekutif, yudikatif dan legislative
sekaligus.
Dengan lima indicator di atas kiranya dapat membantu dalam memandu
bangsa kita untuk memilih dan berpihak kepada pemimpin yang berkualitas.
Siapa saja yang menang dalam berkompetisi pada pemilihan presiden
setiap orde, semoga yang terpilih itu yang terbaik.
Karena itulah kepemimpinan yang berkualitas (leader), tidak sama dengan seorang dealer (calo, makelar, red).
Dengan selektif dalam memilih pemimpin, kita berharap tidak ingin
keluar dari mulut macan dan singa, dan masuk ke mulut buaya. Dalam terma
keagamaan, kita tidak boleh jatuh pada lubang kehancuran untuk kedua
kalinya.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُواْ نِعْمَةَ اللّهِ كُفْراً وَأَحَلُّواْ قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat
Allah Subhanahu Wata’ala dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke
dalam lembah kebinasaan.” (QS: Ibrahim (14) : 28).*
Penulis adalah kolumnis hidayatuallah.com, tinggal di Kudus, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar