Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
SEORANG laki-laki
datang menghadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ia bermaksud
mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan
hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan
memberitahukan pengaduan bapaknya. Anak itu bertanya kepada Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun
mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak
itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”.
“Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al-Qur’an
kepadanya,” jawab Umar menunjukkan. Anak itu berkata mantap, “Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di
antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari
keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang
kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari
al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata
tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu.
Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau
pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”
Kata-kata
Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan kepada kita
-para bapak- untuk banyak bercermin. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak
kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka.
Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yang
sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita. Jangan-jangan kita
mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki
kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.
Kita
sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai
orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sering
bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan
membuat mereka menuruti apa pun yang kita inginkan, meskipun kita
menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa
bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati. Kita
ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha
memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.
Pendidikan
yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau
sekedar membebaskan kita dari kesumpekan lantaran dari awal sudah merasa
repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa
demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.
Teringatlah
saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya. Muhammad
Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, masih bayi waktu itu dan
sedang lucu-lucunya (sekarang pun dia masih sangat lucu dan
menggemaskan) . Sembari menunggu bagasi, seorang ibu yang modis bertanya
kepada istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada
kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya
ibu itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut
menimpali. “Empat???” tanya ibu itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia
kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukan pertanyaan
berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,”
jawab istri saya.
Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya,
sehingga nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya
punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali. Ribut. Nggak mau
diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati
berdiri saya.”.
Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita,
cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua
semata-mata karena dia punya anak.Bukan gambaran tentang kematangan jiwa
atau kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka
semata-mata sebagai resiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang
masih jernih tanpa dosa tak mampu membuat orangtuanya terhibur.
Terkadang
orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran
sendiri tentang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya,
sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar
mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan.
Orangtua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan
penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan
anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang
lahir laki-laki. Maka anak itupun diperlakukan seperti perempuan,
sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu
menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah
memiliki anak. Ketika anaknya sudah menjadi orangtua.
Kejadian
semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak
sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan
kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam.
Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan.
Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan
dia penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi
akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di
rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan
fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.
Saya
teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan.
Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar
sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya
sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat
dengan baik dan penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan
emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan;
dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan.
Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada
orangtua. Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.
Staf
dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah
kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata
memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan
ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka
sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Melihat
anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata haru
yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat,
“Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat
ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.
Tak
ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat
anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang
remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang
menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar.
Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan
perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah
dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa
perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran akan beratnya
tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih
baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.
Kisah
anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan
orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan
lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal
orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang
besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya
ternyata anggota dewan sebuah daerah.
Apa yang terjadi
sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada hilangnya
kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus
kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran
menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara keutamaan
menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh keturunan
(tasabbub). Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi
alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan
kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.
Dulu,
sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak
setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua
mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan
satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.
Dulu
orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak
orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya.*
Mohammad Fauzil Adhim adalah
penulis kolom Parenting Majalah Hidayatullah. Berbagai tulisan lain
dapat dibaca di majalah Hidayatullah. twitter: @kupinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar