Beberapa Perempuan Yang Haram Dinikahi
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampai.
Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan
seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengenai)
ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan;
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu
yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu
(mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campuri dengan isteri kamu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;
(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);, dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan
hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu
selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi
(campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(An-Nisaa:22-24).
Dalam tiga ayat diatas Allah SWT menyebutkan
perempuan-perempuan yang haram dinikai. Dengan mencermati firman Allah
tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi
dua:
Pertama: Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku
selama-lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri
seorang laki-laki di segenap waktu.
Kedua: Tahrim Muaqqat
(pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah,
gugurlah tahrim itu dan ua menjadi halal.
Sebab-sebab tahrim
muaqqad (pengharaman selamanya) ada tiga: pertama karena nasab, kedua
haram mushaharah (ikatan perkawinan) dan ketiga karena penyusuan.
Pertama: perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena nasab adalah :
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah)
5. Bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu)
6. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
7. Anak perempuan saudara perempuan).
Kedua: perempuan-perempuan yang haram diwakin karena mushaharah adalah :
1. Ibu istri (ibu mertua), dan tidak dipersyaratkan tahrim ini suami
harus dukhul ”bercampur” lebih dahulu. Meskipun hanya sekedar akad nikah
dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
2. Anak perempuan dari isteri yang sudah didukhul (dikumpul), oleh
karena itu, manakala akad nikah dengan ibunya sudah dilangsungkan namun
belum sempat (mengumpulinya), maka anak perempuan termasuk halal bagi
mantan suami ibunya itu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, ”Tetapi
kalian belum bercampur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian
campur), maka tidak berdosa kalian menikahinya.” (An-Nisaa:23).
3. Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah.
4. Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan ats anak menikahi isteri bapak
dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
Ketiga: perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya, ”Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan.” (an-Nisaa’:23).
Nabi saw. bersabda, ”Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang
menjadi haram karena kelahiran.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX:139
no:5099, Muslim II:1068 no:1444, Tirmidzi II:307 no:1157, ’Aunul Ma’bud
VI:53 no:2041 dan Nasa’i VI:99).
Hal.570
Oleh karena itu,
ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang
haram dikawini oleh anak laki-laki dari jalur ibu kandung, haram pula
dinikahi bapak sepersusuan, sehingga anak yang menyusui kepada orang
lain haram kawin dengan:
1. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dari pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. saudara perempuan ibu susu (bibi dari pihak ibu susu)
5. Saudara perempuan bapak susu
6. cucu perempuan dari Ibu susu
7. Saudara perempuan sepersusuan
Persusuan Yang Menjadikan Haram
Dari Aisyah r.anha bahwa Rasulullah saw. Bersabda, ”Tidak bisa
menjadikan haram, sekali isapan dan dua kali isapan.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil no:2148, muslim II: 1073 no:1450,Tirmidzi II: 308 no: 1160’Aunul
Ma’bud VI: 69 no: 2049, Ibnu Majah I: 624 no:1941, Nassa’i VI:101).
Dari Aisyah r.anha berkata, ”Adalah termasuk ayat Qur’an yang
diwahyukan. Sepuluh kali penyusuan yang tertentu menjadi haram. Kemudian
dihapus (ayat) ayat yang menyatakan lima kali penyusuan tertentu sudah
menjadi haram. Kemudian Rasulullah saw wafat, dan ayat Qur’an itu tetap
di baca sebagai bagian dari al-Qur’an.” (Shahih: Mukhtashar Muslim
no:879m Muslim II:1075 no:1452, ’Aunul Ma’bud VI:67 no:2048, Tirmidzi
II:308 no:1160, Ibnu Majah II:625 no:1942 sema’na dan Nasa’i VI:100).
Dipersyaratkan hendaknya penyusuan itu berlangsung selama dua tahun,
berdasar firman Allah, ”Para Ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS.
al-Baqarah :233)
Dari Ummu Salamah r.anha bahwa Rasulullah saw.
bersabda, ”Tidak menjadi haram karena penyusuan, kecuali yang bisa
membelah usus-usus di payudara dan ini terjadi sebelum disapih.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no:2150 dan Tirmidzi II:311 no:1162).
Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, ”Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada mada lampau.”
(An-Nisaa’:23).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, ”Tidak boleh
dikumpulkan (dalam pernikahan) antara isteri bibinya dari pihak ayah dan
tidak (pula) dari ibunya.” (Muttafaqun ’alaih: II:160, Tirmidzi II:297
no:11359 Ibnu Majah I:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i
VI:98).
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
”Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisaa’ :24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mengawini wanita-wanita yang berstatus
sebagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan
perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa
iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal ini mengacu
pada hadits dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw. pernah mengutus pasukan
negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya, lantar mereka
memeranginya. Mereka berhasil menaklukkan mereka dan menangkap sebagian
di antara mereka sebagai tawanan. Sebagian dari kalangan sahabat
Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu
karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah
SWT pada waktu itu menurunkan ayat, ”Dan (diharamkan pula kamu
mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.
’Yaitu mereka halal kamu campuri bila mereka selesai menjalani masa
iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837, Muslim II:1079 no:1456,
Trimidzi IV: 301 no:5005, Nasa’i 54 VI:110 dan ’Aunul Ma’bud VI:190
no:2141).
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak
halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain
dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, ”Kemudian jika si suami
mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika
suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali, jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (Al-Baqarah
:230).
5. Kawin dengan wanita pezina
Tidak halal bagi
seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi
seorang perempuan kawian dengan seorang laki-laki pezina, terkecuali
masing-masing dari keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha.
Allah menegaskan, ’Laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini kecuali
perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina
tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berzina atau laki-laki
yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.” (An-Nuur : 3).
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayanya dari
datuknya bahwa Martad bin Abi Martad al-Ghanawi pernah membawa beberapa
tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah terdapat seorang pelacur yang
bernama ’Anaq yang ia adalah teman baginya. Ia (Martad) berkata, ”Saya
datang menemui Nabi saw. lalu kutanyakan kepadanya ”Ya Rasulullah
bolehkah saya menikah dengan ’Anaq Mak Beliau diam, lalu turunlah ayat,
”Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian Beliau memanggilku kembali
dan membacakan ayat itu kepadaku, lalu bersabda, ”Janganlah engkau
menikahinya.” (Hasanul Isnad: Shahih Nasa’i no:3027, ’Aunul Ma’bud VI:48
no: 2037, VI:66 dan Tirmidzi V:10 no:3227).
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka
As-Sunnah), hlm. 567 – 575.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar